Bimata

Rapid Test Berakhir, Thamrin: Keputusan Yang Tepat, Tapi Ada Yang Kehilangan Rezeki

BIMATA.ID, Jakarta- Sekretaris DPD Gerindra DKI Jakarta Husni Thamrin menyambut baik kebijakan pemerintah yang memutuskan rapid test tidak lagi direkomendasikan untuk mendiagnosa orang yang terinfeksi Covid-19.

Thamrin menganggap peraturan anyar yang diteken oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto pada 13 Juli itu sebagai kabar baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun, menurutnya, ada pihak-pihak yang kecewa karena terpaksa kehilangan rezeki.

“Alhamdulillah, akhirnya dokter Terawan mencabut aturan rapid test. Keputusan yang tepat. (Tapi) Kasian juga, ada yang kehilangan rezeki karena kebijakan itu,” kata Thamrin kepada wartawan, Jakarta, Rabu (22/7/2020).

Dikatakan Thamrin, dengan kebijakan ini pemerintah telah mengurangi beban masyarakat yang harus membayar mahal biaya rapid test, dimana mereka sebelumnya diwajibkan untuk melakukan rapid test mandiri sebagai syarat wajib bepergian ke luar kota, baik lewat jalur udara maupun darat.

Termasuk juga para santri yang akan kembali ke pesantren terpaksa merogoh kocek mulai 350 ribu hingga 500 ribu lebih untuk sekedar melengkapi syarat dokumen perjalanan.

Selain itu, lanjutnya, kini tenaga medis pun tak perlu lagi buang-buang waktu untuk melayani rapid test, yang sejak awal memang para ahli kesehatan menyebut tes cepat itu tidak efektif mendeteksi Covid-19.

“Dengan demikian limbah rapid test pun berakhir. Sekarang para tenaga medis bisa fokus kembali memberikan pelayanan kesehatan seperti semula,” terang Thamrin.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan aturan baru Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Virus Corona (Covid-19). Peraturan itu diteken langsung oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Ahad, (13/7/2020).

Terdapat sejumlah poin penting terkait pencegahan dan penanganan Corona. Salah satu poinnya, terkait rapid test yang tidak direkomendasikan lagi untuk mendiagnosa orang yang terinfeksi Corona.

Di aturan baru ini, kondisi dengan keterbatasan kapasitas pemeriksaan RT-PCR, Rapid Test Covid hanya dapat digunakan untuk skrining pada populasi spesifik dan situasi khusus, seperti pada pelaku perjalanan (termasuk kedatangan Pekerja Migran Indonesia, terutama di wilayah Pos Lintas Batas Darat Negara (PLBDN), serta untuk penguatan pelacakan kontak seperti di lapas, panti jompo, panti rehabilitasi, asrama, pondok pesantren, dan pada kelompok- kelompok rentan.

“Penggunaan Rapid Test tidak digunakan untuk diagnostik,” demikian tertulis pada peraturan halaman 82 di bagian defisini operasional.

WHO juga telah merekomendasikan penggunaan Rapid Test untuk tujuan penelitian epidemiologi atau penelitian lain.

Untuk kepentingan diagnostik, pemerintah kini mengikuti WHO yang merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang terduga terinfeksi COVID-19. Metode yang dianjurkan adalah metode deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan RT-PCR.

Sebelumnya, selama berbulan-bulan banyak ahli kesehatan yang mempertanyakan sikap pemerintah yang bersikeras mempertahankan tes tersebut.

Para ahli menyebut tes cepat alias rapid test ini tidak efektif mendeteksi Covid-19.

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 bahkan menetapkan hasil non-reaktif rapid-test sebagai salah satu syarat perjalanan.

Orang tidak boleh bepergian ke luar kota, jika tak menyertakan dokumen itu.

Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menyerukan kepada pemerintah dan masyarakat untuk tidak lagi menggunakan metode pemeriksaan rapid test dalam mendeteksi kasus virus corona (Covid-19).

Menurutnya, rapid test tidak bisa mendeteksi Covid-19 dengan baik sehingga hanya membuang-buang uang negara.

(FID)

Exit mobile version