Bimata

Indonesia Ambil Langkah Ganti Nama Laut China Selatan Jadi Laut Natuna Utara demi Lawan Kenekatan Tiongkok

BIMATA.ID, JAKARTA — China kini bergerak untuk merebut banyak wilayah dari negara-negara yang berbatasan langsung dengan mereka.

Tak hanya perbatasan darat seperti di Ladakh, Himalaya yang bersinggungan langsung dengan India. Kini China kembali berulah di perairan termasuk perairan Laut China Selatan yang kini semakin memanas.

Setidaknya ada 18 negara yang sedang berkonflik dengan China saat ini termasuk Indonesia mengenai perbatasan wilayahnya.

Hampir sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) kini sedang bersengketa perairan dengan China. Di Laut China Selatan kini ketegangannya semakin meningkat dan membuat negara adidaya, Amerika Serikat (AS) bergerak.

AS setidaknya mengirim tiga kapal induknya ke Laut China Selatan dan sejumlah prajurit angkatan lautnya diterjunkan di pintu masuk ke wilayah tersebut.

Setidaknya 65 persen prajurit militer Angkatan Laut (AL) Paman Sam kini tengah bertugas di Laut China Selatan.

Hal itu lantaran China dianggap menantang hukum internasional mengenai batas perairan. Kini genderang konflik di tahun di wilayah perairan Asia Tenggara yang membuat negara-negara ASEAN pun harus terbagi fokusnya di tengah serangan pandemi virus corona.

Tetapi ternyata Indonesia telah mengambil langkah lebih jauh dari negara ASEAN lainnya. Indonesia diketahui negara yang juga bersengketa dengan China dengan dasar kebijakanan aneh dari negara tersebut yang dinamakan “Sembilan Garis Putus-putus”.

Meskipun sempat beberapa kali berselisih di perairan yang dilewati jalur pengiriman global sekitar sepertiga dari total pengiriman barang via laut dalam setahun.

Tercatat beberapa kali konflik di perairan yang disebut memiliki sumber cadangan minyak dan gas senilai US$ 2,5 triliun menurut data dari Departemen Luar Negeri AS yang dihimpun The Sydney Morning Herald, terjadi antara Indonesia dengan China.

Melansir Kompas.com, banyak faktor yang melatarbelakangi konflik tersebut. Pada Maret 2016, konflik antara pemerintah Indonesia dengan China terjadi lantaran ada kapal ikan ilegal asal China yang masuk ke Perairan Natuna.

Pemerintah Indonesia berencana untuk menangkap kapal tersebut. Tetapi, proses penangkapan tidak berjalan mulus, lantaran ada campur tangan dari kapal Coast Guard China yang sengaja menabrak KM Kway Fey 10078. Hal itu diduga untuk mempersulit KP HIU 11 menangkap KM Kway Fey 10078.

Pada waktu itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan, dalam pertemuan dengan Sun Weide, Kuasa Usaha Sementara China di Indonesia, pihak Indonesia menyampaikan protes keras terhadap China.

Sebulan setelah konflik tersebut, Pemerintah Indonesia menganggap persoalan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dengan Coast Guard China di Perairan Natuna sudah selesai.

Kemudian, pada Juli 2017, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman meluncurkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru.

Nama Laut China Selatan juga diganti menjadi Laut Natuna Utara. Langkah tersebut diambil untuk menciptakan kejelasan hukum di laut dan mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia.

Keputusan tersebut memicu kritik dari Beijing. Lalu, pada 19 Desember 2019, sejumlah kapal asing penangkap ikan milik China diketahui memasuki Perairan Natuna, Kepulauan Riau.

Kapal-kapal China yang masuk dinyatakan telah melanggar exclusive economic zone (ZEE) Indonesia dan melakukan kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUUF).

Selain itu, Coast Guard China juga dinyatakan melanggar kedaulatan di perairan Natuna. Oleh sebab itu Indonesia kini jadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tak ingin berkompromi dengan China mengenai batas wilayah perairan di Utara Natuna tersebut. (*)

 

 

Andreas Chris Febrianto Nugroho/Sosok Id/Usman

Exit mobile version