BIMATA.ID, JAKARTA- Ketua DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Setiajit, mengungkapkan, kesulitan petani yang sudah menahun dialami soal sulitnya memperoleh BBM solar dengan harga terjangkau. Lumbung-lumbung pangan terdapat di perdesaan, sementara penyalur resmi solar berlokasi di pusat kecamatan.
“Jaraknya bisa sampai 20 kilometer. Jadi, ya praktis petani membeli solar dengan harga yang lebih mahal Rp 1.000 – Rp 1.500 yang lebih dekat,” kata Setiajit dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (8/7).
Ia mengungkapkan, bagi para petani yang memiliki traktor tentunya juga kesulitan untuk mendapatkan harga BBM bersubsidi di penyalur resmi. Hal itu pun kerap kali disiasati dengan membeli secara diam-diam di SPBU umum dengan jeriken.
Kesulitan-kesulitan itu tentunya menghambat proses kegiatan petani dalam menghasilkan komoditas pangan. Ia pun mengusulkan agar pemerintah melalui badan usaha milik negara memfasilitasi pembangunan SPBU mini yang resmi di setiap perdesaan.
Selain itu, ia menyarankan agar Kartu Tani yang diprogramkan oleh Kementerian Pertanian juga bisa digunakan petani untuk membeli BBM di SPBU untuk kendaraan umum. “Kami mohon identitas petani dengan Kartu Tani bisa dipakai untuk kemudahan mendapatkan BBM,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Yusuf Solichien, mengatakan, masalah BBM bagi nelayan lebih memprihatinkan. Sebab selama ini nelayan hampir tidak bisa memperoleh solar sesuai harga pemerintah.
Hal itu salah satunya belum tersedianya Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bunker sesuai dengan jumlah pelabuhan pendaratan ikan. Yusuf mengungkapkan, dari total 1.104 pelabuhan pendaratan ikan, baru terdapat 350 SPBB.
“Akibatnya, sebagian besar nelayan harus membeli BBM non subsidi. Idealnya memerlukan 2.000 SPBB,” katanya.
Ia pun menambahkan, mayoritas nelayan di Indonesia masuk pada kategori nelayan kecil dan hidup dalam garis kemiskinan. Sesuai pengkategorian pemerintah, nelayan kecil merupakan nelayan yang melaut dengan kapal di bawah kapasitas 10 gross ton.
Data HSNI mencatat jumlah kapal nelayan di Indonesia mencapai lebih dari 625 ribu unit. Namun, sebanyak 597 ribu unit atau 96 persen masuk kategori di bawah 10 gross ton. “Ini bukti nelayan miskin. Bahkan kami iri dengan HKTI, negara memberikan puluhan triliun subsidi untuk petani, tapi bagi nelayan belum ada,” kata dia.