Tantangan Pilkada 2020 di Masa Pandemi COVID-19
BIMATA.ID, JAKARTA — DPR RI bersama Pemerintah menyetujui usulan KPU untuk merubah pelaksanaan Pilkada 2020 dari semula 23 September menjadi 9 Desember, pada Rabu, (27/5) dalam sebuah rapat kerja secara virtual dengan Pemerintah, KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Payung hukum penyelenggaraan Pilkada ini kemudian dituangkan dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2020 sebagai penundaan Pilkada akibat pandemi COVID-19. KPU pun sudah menerbitkan jadwal tahapan baru. Setelah sempat tertunda karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tahapan Pilkada dimulai kembali hari ini, 15 Juni 2020.
Namun, DPR dan Pemerintah memberi catatan khusus terhadap pelaksanaan Pilkada 2020 di masa pandemi coronavirus. Penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut harus memenuhi dua prinsip utama. Pertama, setiap tahapan harus menerapkan protokol kesehatan COVID-19 secara ketat. Kedua, keharusan untuk tetap menjaga kualitas demokrasi atau prinsip-prinsip demokrasi di dalam setiap tahapannya.
Kedua catatan tersebut tak terlepas dari masukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang menyebutkan bahwa ada 40 daerah berstatus risiko tinggi penularan COVID-19, 99 daerah berisiko sedang, 72 daerah berisiko ringan, dan 43 daerah tidak terdampak dari 261 kabupaten/kota dan 9 provinsi yang akan menyelenggarakan Pilkada.
Status risiko itu akan terus diperbarui Gugus Tugas tiap pekan. Bisa saja status risiko penularan di tiap daerah itu berubah menjadi membaik, atau bahkan memburuk yang berdampak pada pelaksanaan Pilkada. Saat ini saja, angka penularan COVID-19 terhitung masih tinggi, apalagi sejak diberlakukan new normal.
Gugus Tugas pun mengingatkan penyelenggara Pilkada, baik KPU maupun Bawaslu, untuk melakukan sosialisasi, edukasi, simulasi dan prakondisi bagi seluruh daerah yang terlibat, baik petugas lapangan maupun masyarakat, hingga di tingkat RT-RW. Gugus Tugas juga meminta Pemerintah Daerah dan penyelenggara Pilkada harus betul-betul memerhatikan status risiko penularan COVID-19 di wilayah masing-masing.
Konsekuensinya, KPU dan Bawaslu harus menyesuaikan metode dan teknis semua tahapan penyelenggaraan Pilkada dengan protokol kesehatan COVID-19. Salah satunya, KPU dan Bawaslu harus menerapkan physical distancing (jaga jarak aman), dan menghindari pengumpulan atau kerumunan massa.
Dalam tahapan pertama yang dimulai hari ini, seperti pembentukan badan ad hoc, pelaksanaan bimbingan teknis, pembentukan dan pelatihan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), KPU akan melakukannya secara online.
KPU juga akan mengatur ulang metode dan jumlah peserta kampanye, baik kampanye terbatas, kampanye umum, maupun debat kandidat. Bahkan, KPU akan meniadakan kampanye akbar, dan konser yang biasa dilakukan di akhir masa kampanye.
KPU juga akan membatasi jumlah pemilih dalam satu Tempat Pemilihan Suara (TPS), menjadwal pembagian waktu kedatangan pemilih di TPS, pemilih diharuskan menggunakan masker, penggunaan tinta semprot atau oles, hingga soft copy hasil rekapitulasi suara.
Partisipasi masyarakat
International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) mengungkapkan ada lima pemilihan elektoral di lima negara yang berlangsung di tengah wabah koronavirus pada Februari dan Maret 2020. Di sisi lain, ada 46 pemilihan elektoral di dunia yang ditunda demi keselamatan dan kesehatan warga negara, termasuk Pilkada 2020 di Indonesia.
Lima pemilihan itu yakni; pemilihan lokal di Queensland, Australia pada 28 Maret 2020; pemilihan lokal di Prancis pada 15 Maret 2020; pemilihan legislatif di Iran pada 21 Februari 2020; pemilihan legislatif di Mali pada 29 Maret 2020; dan pemilihan lokal di Bavaria pada 15 Maret 2020.
Pemilihan lokal di Queensland saat pandemi COVID-19, membuat tingkat partisipasi publik mengalami penurunan dari 83 persen, menjadi 77,5 persen. Pada pemilihan lokal di Perancis, penurunan partisipasi pemilih dari 63,6 persen menjadi 44,7 persen. Tingkat partisipasi publik dalam pemilihan legislatif Iran juga menurun menjadi 42,32 persen dari sebelumnya sebesar 60,09 persen.
Penurunan partisipasi pemilih terbesar dialami pemilihan legislatif di Mali, dari 42,7 persen merosot tajam ke 7,5 persen. Satu-satunya yang meningkat partisipasi pemilihnya terjadi pada pemilihan lokal di Bavaria, dari 55 persen naik menjadi 58,5 persen.
Pemilihan di lima negara itu diselenggarakan secara konvensional dengan menggunakan surat suara, dan berlangsung dengan melakukan protokol pencegahan penyebaran COVID-19, seperti menjaga jarak fisik.
Dari temuan IDEA tersebut sangat jelas mengungkapkan bahwa tingkat partisipasi pemilih menurun tajam saat penyelenggaraan Pemilu di empat negara pada masa pandemi koronavirus. Bahkan, tiga dari empat negara tingkat partisipasi pemilihnya di bawah 50 persen.
Sementara itu, hasil survei Litbang Kompas beberapa hari lalu menyebutkan kurang dari 65 persen responden yang menjawab akan menggunakan hak pilihnya pada pelaksanaan Pilkada di masa pandemi COVID-19.
KPU sendiri menargetkan angka partisipasi pemilih Pilkada 2020 sebesar 77,5 persen. Angka ini sama dengan target KPU pada Pilkada 2018 lalu. KPU optimis target itu bisa tercapai.
Bila melihat Pilkada 2018 lalu, dari target partisipasi pemilih sebesar 77,5 persen, tingkat partisipasi pemilih secara keseluruhan dalam pemilihan gubernur hanya mencapai 72,66 persen, pada pemilihan bupati sebesar 75,56 persen, dan pemilihan wali kota 73,82 persen. Angka tersebut dicapai saat belum ada wabah koronavirus.
Melihat temuan IDEA, survei Litbang Kompas, dan hasil Pilkada 2018, menjadi kekhawatiran semua pihak bila derajat partisipasi Pemilih pada Pilkada 2020 akan menurun tajam, bahkan di bawah 50 persen.
Apalagi, KPU akan memberlakukan pembatasan metode dan peserta kampanye. Hal ini akan berpengaruh pada tingkat pengetahuan masyarakat terhadap pelaksanaan Pilkada 2020. Sangat mungkin akan banyak masyarakat yang tidak tahu ada penyelenggaraan Pilkada.
Tak hanya itu, pengetahuan pemilih terhadap calon kepala daerahnya juga bisa semakin minim. Mereka tidak tahu siapa saja calon, dan bagaimana rekam jejaknya secara detail.
Persoalan itu, di tambah lagi masyarakat yang enggan keluar rumah di masa pandemi bisa berefek pada menurunnya tingkat partisipasi. Tentu, derajat keterwakilan pemilih pun menjadi berkurang.
Pengawasan Tiap Tahapan
Selain persoalan minimnya derajat partisipasi Pemilih, Pilkada 2020 di tengah pagebluk korona juga memunculkan kekhawatiran rendahnya pengawasan pada tiap tahapannya.
Pelaksanaan Pilkada yang dilakukan dengan protokol kesehatan juga membuat Bawaslu merubah metode dan teknis pengawasan di tiap tahapannya.
Misalnya, pelaksanaan tahapan yang menggunakan daring. Bagi daerah yang tidak memiliki jaringan internet tentu hal itu sangat merepotkan. Catatan Bawaslu, setidaknya ada 1.338 kecamatan tak punya akses internet.
Persoalan lainnya adalah pengawasan terhadap penyusunan, pencocokan dan penelitian (coklit), dan pemutakhiran data pemilih. Ketepatan dan keakuratan data pemilih ini sangat penting dalam menentukan kualitas Pemilu.
Pada Pemilu 2019 saja, dimana COVID-19 belum mewabah, Bawaslu mencatatkan kegandaan pemilih mencapai 116.513 pemilih. Sistem data pemilih (Sidalih) KPU sebagai sistem berbasis teknologi bahkan tidak mampu mendeteksi kegandaan itu.
Kemudian, masalah lainnya yang kalah penting adalah pengawasan saat masa kampanye, produksi dan distribusi logistik kertas suara, serta pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara.
Pada tiap Pemilu, tahapan-tahapan ini selalu menjadi perhatian publik karena banyaknya temuan pelanggaran yang tidak hanya bersifat administratif, bahkan juga pidana. Seperti, politik uang, pengerahan ASN, kertas suara tercoblos sebelum pemungutan, hingga manipulasi hasil suara.
Kualitas Demokrasi
Dengan banyaknya persoalan tersebut, wajar publik sebelumnya mendesak agar penyelenggaraan Pilkada 2020 diundur ke 2021 atau bahkan 2022. Hal ini demi terjaganya kualitas demokrasi sehingga tujuan dari Pemilu itu sendiri bisa tercapai.
Memang sangat rentan Pilkada 2020 dipaksakan di tengah pagebluk korona. Bukan hanya membahayakan kesehatan dan keselamatan masyarakat dan penyelenggara, tapi juga membuka banyak celah dan malpraktek yang tidak sesuai prinsip demokrasi serta melenceng jauh dari tujuan Pemilu itu sendiri.
Misalnya, petahana paling diuntungkan ketika kampanye dibatasi. Masyarakat otomatis lebih mengenal petahana, apapun rekam jejaknya selama menjabat. Bagi calon yang pas-pasan dananya akan sulit untuk menyebarluaskan ide, maupun rekam jejaknya.
Petahana juga bisa menggunakan bantuan COVID-19 sebagai dalih pembagian Sembako. Memang, calon lainnya bisa menggunakan alasan yang sama, namun petahana memiliki keuntungan tersendiri.
Petahana bisa saja menumpang bantuan Sembako yang berasal dari anggaran negara dengan menyelipkan stiker dirinya, petahana juga bisa mengklaim bantuan itu bersumber dari anggaran pribadinya.
Celah kecurangan juga terbuka terkait data pemilih. Terutama, di daerah hitam dan merah penyebaran COVID-19 yang sangat terbatas untuk memeriksa secara langsung door to door, data pemilih bisa saja disahkan tanpa verifikasi yang ketat sehingga menimbulkan data pemilih ganda, dan fiktif.
Kemudian, terjadinya manipulasi hasil suara juga masih menjadi ancaman serius. Di masa tanpa pandemi saja banyak gugatan dan laporan yang masuk ke Bawaslu dan DKPP terkait manipulasi suara yang dilakukan penyelenggara Pemilu, apalagi di masa new normal koronavirus.
Karena itu, Pilkada 2020 tidak saja membutuhkan terobosan dari KPU dan Bawaslu dari segi teknis, tapi niat dan tekad yang besar untuk menutup celah-celah terjadinya malpraktik tersebut.
Terlebih, kecurangan-kecurangan itu selalu saja terulang tiap Pemilu, entah di Pilkada, Pileg, ataupun Pilpres. Di tengah kondisi abnormal, menjadi tantangan besar bagi penyelenggara Pemilu untuk mencegah tindak kecurangan tersebut. Semoga!
(***)