PP Muhammadiyah Tegaskan RUU HIP Tidak Perlu Dilanjutkan
BIMATA.ID, JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah mengkaji dengan seksama materi Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang sekarang dalam pembahasan Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Berdasarkan kajian tahap pertama Tim Pengkajian Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Materi RUU HIP banyak yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah Undang-Undang. Terutama dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan.
“Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat bahwa RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahap berikutnya untuk disahkan menjadi Undang-Undang,” ungkap Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam Konferensi Pers Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang RUU HIP di Aula KH Ahmad Dahlan Gedung PP Muhammadiyah Jakarta, Senin (15/6/2020).
Turut Hadir Ketua PP Muhammadiyah Dr Anwar Abbas, Bendahara Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Suyatno, MPd, Majelis Hukum dan Ham PP Muhammadiyah Prof Dr Syaiful Bakhri, MH, dan Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah Dr Yono Reksoprodjo.
Menurut Mu’ti, secara hukum kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara sudah sangat kuat. Landasan perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur dalam TAP MPRS No. 20 Tahun 1966 Juncto TAP MPR No. 5/MPR Tahun 1973, TAP MPR Nomor 9 Tahun 1978 dan TAP MPR Nomor 3 Tahun 2000 beserta beberapa Undang-Undang turunannya sudah sangat memadai.
“Maknanya Peraturan Perundang-undangan dibuat karena benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” imbuhnya.
Meniadakan atau tidak mencantumkan TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 menjadi salah satu pertimbangan dalam RUU HIP juga termasuk masalah serius. “Padahal dalam TAP MPR tersebut pada Poin A, Menimbang, bahwa paham atau ajaran Komunisme, Marxisme, Leninisme pada hakikatnya bertentangan dengan Pancasila,” katanya.
Sementara itu, bagi orang yang Berketuhanan yang Maha Esa serta beragama, semua amanat harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Yang Maha Kuasa.
Bangsa Indonesia perlu belajar dari dua pengalaman sejarah kekuasaan di masa lalu. Yaitu ketika perumusan Perundang-Undangan atau penerapan kebijakan Ideologi Pancasila disalahgunakan dan dijadikan instrumen kekuasaan yang bersifat monolitik oleh penguasa
DPR, Pemerintah dan Bangsa Indonesia hendaknya tidak mengulangi kesalahan sejarah tersebut. Karena jelas bertentangan dengan Pancasila dan merugikan kepentingan seluruh hajat hidup rakyat Indonesia dalam mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
“Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengimbau agar semua pihak di tubuh bangsa tetap tenang dan memupuk kebersamaan dalam semangat persatuan Indonesia. Semoga Allah SwT melindungi segenap bangsa Indonesia,” pungkasnya.
Sumber : Suara Muhammadiyah