Opini

New Normal, Gelombang Kedua, dan Teladan Pemimpin

Penulis Eroby J Fahmi, Jurnalis

BIMATA.ID, JAKARTA –– Presiden Joko Widodo mengumumkan Indonesia bersiap memberlakukan New Normal di tengah pandemi COVID-19 pada 5 Juni mendatang di 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota. Pemberlakukan New Normal tetap tidak melonggarkan p

New Normal dalam bahasa kita bisa disebut dengan kenormalan yang baru, atau kewajaran yang baru. Pada awalnya istilah ini digunakan dalam bisnis dan ekonomi yang merujuk kepada kondisi-kondisi keuangan usai krisis keuangan 2007-2008, dan resesi global 2008-2012.

Kemudian istilah ini dipakai pada berbagai konteks lain untuk mengimplikasikan bahwa suatu hal yang sebelumnya dianggap abnormal menjadi umum. Istilah ini kembali digunakan sejak mewabahnya coronavirus. New Normal pun bisa diartikan sebagai cara hidup baru di tengah pandemi COVID-19.

Semenjak mewabahnya coronavirus di dunia, termasuk Indonesia, masyarakat dihadapkan pada kondisi harus berada di dalam rumah demi menghindari tertularnya virus ini. Segala aktivitas di luar rumah, seperti bekerja dan belajar, pun berpindah dari dalam rumah.

Aktivitas bisnis, keagamaan, pertemuan massal atau kerumunan ramai di publik juga dibatasi. Bahkan, tempat-tempat tertentu tidak diperbolehkan beroperasi.

Kini, usai kira-kira 2 bulan kebijakan tersebut diberlakukan, Pemerintah meminta masyarakat bersiap-siap untuk menerapkan kenormalan baru. Masyarakat akan diperbolehkan kembali beraktivitas secara normal, dengan beberapa penyesuaian yang baru, di tengah kondisi abnormal.

Masyarakat akan hidup berdampingan, atau istilah Presiden Joko Widodo berdamai dengan coronavirus, di tengah angka tertularnya virus masih sangat tinggi per harinya, masih kecilnya jumlah orang yang dilakukan tes, dan belum adanya vaksin yang ditemukan.

Sebuah protokol akan mengatur ‘cara hidup baru’ tersebut. Bahkan, Pemerintah mengerahkan aparat kepolisian dan TNI untuk mendisiplinkan masyarakat agar bisa berdamai dengan coronavirus.

Sederhananya, Pemerintah akan memperbolehkan lagi adanya aktivitas pendidikan, bisnis, keagamaan, maupun kerumunan massal, namun dengan kondisi agak berbeda. Misalnya, menjaga jarak fisik dalam segala hal, menggunakan masker, dan rajin mencuci tangan.

Namun, muncul kekhawatiran, bila New Normal ini diberlakukan Indonesia akan mengalami gelombang kedua mewabahnya coronavirus. Hal ini seperti terjadi di banyak negara, seperti China, dan Korea Selatan, dewasa ini. Hal sama pula pernah terjadi saat terjadinya flu Spanyol, satu abad lalu.

Kita patut cemas gelombang kedua akan terjadi di masa New Normal karena bisa lebih berbahaya dari gelombang pertama. Pada masa ini, jumlah korban diyakini akan meningkat secara cepat dan lebih tinggi serta merata di berbagai daerah.

Pada masa New Normal, masyarakat akan melakukan aktivitas seperti biasanya, tentu dengan berbagai macam kebiasaan baru. Namun, kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap kenormalan baru itu sangat mungkin terjadi.

Jangankan di masa New Normal, pada pemberlakuan PSBB saja masyarakat bisa dengan berani melanggar protokol kesehatan untuk menjaga jarak. Apalagi di masa New Normal, di mana masyarakat yang sebelumnya berada di rumah mulai beraktivitas di segala hal.

Sebetulnya, New Normal ini mirip-mirip juga dengan herd immunity, atau saya menyebutnya semi-herd immunity. Menurut Wikipedia, herd immunity bisa menjadi salah satu solusi atas penyakit menular di mana vaksin belum ditemukan.

Dalam herd immunity, individu yang berpenyakit akan berkumpul dengan yang sehat atau memiliki kekebalan penyakit. Di mana jumlah kelompok atau masyarakat yang memiliki kekebalannya tinggi akan mengurangi, bahkan melindungi individu yang tak punya kekebalan, begitu juga sebaliknya.

Dampaknya, bisa saja terjadi lonjakan korban terpapar dan meninggal, namun juga sebaliknya. Herd immunity ini ibarat seleksi alam. Masyarakat dibiarkan untuk sembuh atau tertular dengan sendirinya.

Pada saat kondisi angka tertular masih tinggi, cenderung naik di akhir Mei, jumlah individu yang dites masih sangat kecil, dan vaksin belum ada, maka bisa jadi New Normal adalah semi-herd immunity.

Karena itu, bila memang kebijakan New Normal ini tak bisa dielak, diperlukan langkah-langkah antisipatif yang komprehensif. Pemerintah tidak bisa hanya memperhatikan keberlangsungan ekonomi pada satu sisi, tapi juga harus menekan laju penularan virus dan bagaimana bila lonjakan kasus justru meningkat.

Di sini, memerlukan perencanaan yang matang di segala sektor. Kita tahu efek dari COVID-19 ini bukan hanya satu atau dua sektor semata, melainkan hampir semua sektor kehidupan terkena imbasnya.

Diperlukan juga aturan yang tegas, bukan malah mencla-mencle berubah-ubah tak karuan antar satu kementerian dengan kementerian lainnya. Buat regulasi dengan ukuran dan panduan yang jelas bagi setiap sektor supaya tidak tumpang tindih dan tidak saling menafikan.

Kedisiplinan dari masyarakat dalam menerapkan New Normal sangat penting. Tapi, kuncinya adalah teladan dari Pemerintah. Pemerintah tak bisa hanya mengimbau, kemudian seenaknya membuat kebijakan lain yang justru bertolak belakang.

Pemerintah tak bisa juga gencar mengkampanyekan jaga jarak dan penggunaan masker, tapi kalangan pejabat negara sendiri mencontohkan hal sebaliknya. Pemerintah harus konsisten, fokus menunjukkan kepada rakyat bahwa mereka tengah menanganinya secara serius.

Bagaimanapun masyarakat itu akan mencontoh pemimpinnya. Masyarakat akan mengikuti kata pemimpinnya. Lihat, ketika awal-awal PSBB, masyarakat dengan sukarela berada di dalam rumah. Tapi, ketika kebijakan dan aturan kerap membuat bingung masyarakat, dengan sendirinya pembangkangan terjadi.

Jangan sampai, terulang kejadian di mana ketika virus ini belum masuk dan mewabah Pemerintah menganggap enteng, kemudian setelah muncul korban pertama malah gagap bahkan cenderung tak bisa menemukan solusi.

Semoga kita semua mampu melewati dan menjalani New Normal dengan kondisi kesehatan dan kewarasan yang tetap terjaga. (****)

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close