BIMATA.ID, JAKARTA — Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Heri Gunawan menyoroti kebijakan Pemerintah yang sedang mengimplementasikan sistem redesain penganggaran untuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2021.
Politisi asal Sukabumi itu mengingatkan agar terobosan rancangan ulang penganggaran ini membuat sistem penganggaran bisa lebih mudah dipahami publik dan manfaatnya dapat dirasakan rakyat banyak secara langsung.
Demikian disampaikan Heri dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, yang berlangsung secara fisik dan virtual, Selasa (23/6/2020).
Menurutnya, redesain penganggaran belum tersosialisasi secara masif, sehingga publik masih bertanya-tanya ke mana arah politik anggaran yang ingin diimplementasikan Pemerintah.
“Redesain penganggaran jangan hanya dari satu sisi alokasi penganggaran saja, tetapi harus juga ada redesain pembiayaan penganggaran. Bukan karena selera,” kata Hergun, sapaan akrabnya.
Idealnya, kata Hergun, sebuah redesain penganggaran harus menemukan relasinya antara program, kegiatan, dan output maupun outcome. Bahkan, sekalipun terjadi suksesi kepemimpinan, redesain penganggaran tidak ikut berubah. Dengan begitu, program redesain tetap stabil.
“Sebaiknya dielaborasi lebih dalam terkait sisi penganggaran dan pertanggungjawaban dalam redesain ini. Anggaran harus mencerminkan hulu ke hilir. Sesuai dengan visi misi Presiden, dan sejalan dengan 7 agenda pembangunan dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional),” tegas Hergun.
Menkeu Sri Mulyani sendiri dalam paparannya mengemukakan bahwa selama ini program belanja pusat dan daerah tidak sinkron, sehingga kinerjanya tidak optimal. Bahkan diakuinya pula, antara dokumen perencanaan dan dokumen penganggaran berbeda, sehingga tidak bisa dikonsolidasi.
Selain itu, Sri Mulyani juga mengatakan, informasi kinerja pembangunan yang tertuang dalam dokumen perencanaan penganggaran sulit dipahami publik. Di sinilah Hergun memberikan penekanan supaya penganggaran itu harus mencerminkan kebijakan dari hulu ke hilir.
Heri Gunawan juga mempertanyakan sistem penganggaran yang ada selama ini. Mulai siapa sebetulnya yang berwenang? Penggarannya ada di mana, dan dimana pula pencairannya?
Sebab, kata Hergun, anggaran negara saat ini yang lebih dari Rp 2 ribu triliun masih bersifat rutin dan fisik/non fisik.
“Dengan anggaran di atas Rp 2 ribu triliun, apa manfaat yang dirasakan oleh rakyat? Belanja relatif banyak yang bersifat rutin, sementara fisik dan non fisik tidak fokus pada tupoksinya. Di sinilah pentingnya redesain sistem penganggaran untuk memberikan informasi kinerja yang mudah dipahami oleh publik,” tutur Hergun.
Legislator dapil Jawa Barat IV ini menambahkan, redesain sistem penganggaran seharusnya bisa memperkuat penerapan value for money termasuk pengalokasian anggaran yang terukur. Faktanya, kata dia, saat ini Bappenas memiliki sistem sendiri dangan rencana kerja K/L. Sedangkan Kemenkeu melalui Dirjen Anggaran juga memiliki RKA K/L dan realisasi anggarannya. Di sisi lain, sinergi program K/L dan daerah juga masih tanda tanya.
“Contoh kecil, sistem penganggaran antara Bappenas dan Kemenkeu, termasuk daerah tidak sinkron. Masih relatif tergantung dari warna kepala daerahnya. Bahkan, rumusan nomenklatur program dan outcome dari sebuah program tidak terlihat secara langsung, masih bersifat normatif,” ucap Hergun.
Terakhir, Anggota Baleg DPR RI ini mempertanyakan bagaimana dengan implementasi kebijakan money follow program terkait punishment dan reward penyerapan anggaran? Hal ini dinilainya terkesan memperburuk penyerapan anggaran itu sendiri karena keterbatasan waktu membuat pencairan dikejar mendekati akhir periode tahun anggaran, sehingga pengerjaan realisasi anggaran terkesan asal-asalan.