BIMATA.ID, JAKARTA- Demi memperkuat program Belajar dari Rumah (BDR) selama masa pandemi Covid-19, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) resmi menggandeng penyedia layanan streaming Netflix. Anggota Komisi X DPR Ali Zamroni memiliki beberapa catatan kritis terkait kerja sama tersebut.
Pertama, Netflix sendiri diketahui belum membayar pajak sehingga mendapat sorotan dari Menteri Keuangan (Kemenkeu). Dari data Kemenkeu, khususnya PMK Nomor 48 tahun 2020 yang mengatur tentang penarikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen bagi subjek pajak luar negeri, Netflix belum memenuhi kewajibannya kepada negara,” ucap politisi Partai Gerindra ini, dalam keterangan yang diterima redaksi, Selasa (23/6).
Kedua, legalitas Netflix di Indonesia yang masih dipertanyakan. Status karyawan yang bekerja di Netflix juga dikritisi legislator dapil Banten I ini. Apalagi, kerja sama Kemendikbud Bersama Netflix diduga bermotif kepentingan bisnis yang berujung pada komersialisasi pendidikan. “Legalitas Netflix ini kan masih bermasalah. Selama mereka beroperasi, izin perusahaan ini apa sudah terdaftar? Kita juga harus mempertanyakan bagaimana status para karyawan yang bekerja di Netflix karena status perusahaanya kan yang belum jelas,” terang Ali.
Dia pun menuding bahwa upaya komersialisasi pendidikan yang dilakukan oleh Kemendikbud makin terasa dengan adanya kerjasama ini. Ali melihat, yang dilakukan Kemendikbud dan Netflix diduga sarat kepentingan bisnis yang menjadi latarberlakangnya. “Kita tahu bahwa latar belakang Mas Menteri (Mendikbud Nadiem Makarim) kan pebisnis. Saya khawatir ada conflict of interest antara kementerian ini dengan Netflix. Jangan sampai dunia pendidikan ini terus-menerus dikomersilkan karena memanfaatkan bencana Covid-19 ini,” ucap Ali.
Terkait konten, Ali juga menilai bahwa konten-konten Netflix tidak layak dikonsumsi para pelajar yang masih di bawah umur. Pengawasan terhadap isi konten Netflix saat ini disoroti tidak hanya oleh kalangan legislator, tetapi Kemkominfo, Komisi penyiaran Indonesia (KPI), Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan akademisi.
“Saya memastikan Kemendikbud belum mengajak bicara instansi seperti Kominfo, KPI, BRTI dan kalangan akademisi dalam hal konten Netflix. Konten Netflix perlu dikaji lebih jauh karena banyak yang tidak layak dikonsumsi pelajar. Jangan sampai kerjasama ini malah muncul masalah baru,” tambah Ali.
Kemendikbud juga dinilainya belum melakukan kajian secara komperhensif. Ali mengingatkan agar Kemendikbud dalam mengambil semua kebijakan harus punya kerangka berfikir secara utuh. Sebab, tambah Ali, jangankan untuk bisa membuka dan menikmati Netflix, faktanya masih banyak daerah yang belum bisa mendapat sinyal internet, terutama di daerah-daerah 3T. Kemendikbud dalam mengambil kebijakan jangan Jakarta sentris, tapi harus Indonesia sentris.
“Sudah dikaji belum secara utuh kerjasama ini. Jangankan menikmati tayangan Netflix, untuk mengakses internet saja kan masih banyak yang kesulitan. Terutama didaerah-daerah 3T. Pemerataan akses internet masih belum optimal,” tegas Ali.
Ali pun menyayangkan kerja sama Netflix dan Kemendikbud di tengah potensi TV Edukasi yang belum dioptimalkan. Padahal, di Kemendikbud ada Pustekkom atau TV Edukasi sebagai televisi pendidikan yang berada di bawah kementerian pendidikan secara langsung. Ali mengaku pernah datang langsung ke Studio TV Edukasi Pusdatin/Pustekkom Kemendikbud. Menurutnya, peralatan dan jaringan lengkap. SDM juga mumpuni. Dia menyarankan, itu saja dikuatkan, tidak perlu bekerja sama dengan Netflix.
“Di Kemendikbud itu ada TV Edukasi. Justru menjadi pertanyaan kenapa Kemendikbud malah bekerja sama dengan Netflix. Ini kan perlu kita kritisi, ada apa sebenarnya dengan kerjasama Netflix dan Kemendikbud. Harusnya Kemendikbud kuatkan TV Edukasi dengan menambah anggarannya. Bukan sebaliknya,” tutup Ali.