Opini

Catatan Randy Aries Saputra

BIMATA.ID, JAKARTA — Aspirasi ini saya tujukan kepada Panitia LTMPT. Sebagai bagian dari masyarakat yang sudah 11 tahun berkecimpung dalam dunia pendidikan non-formal lewat LKP (Lembaga Kursus & Pelatihan), saya ingin menyampaikan aspirasi terkait jadwal pelaksanaan UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer) yang diselenggarakan oleh Panitia LTMPT (Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi).

Jadwal tes UTBK diadakan rentang tanggal 5-12 Juli (8 hari), dengan total sesi yang disediakan sebanyak 30 sesi. Jadwal tes tersebut sangat bertentangan dengan semangat pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi penyebaran Covid19.

MASALAH

  1. Tes tersebut sudah pasti akan mengumpulkan orang dalam jumlah yang sangat besar. Data terakhir dari Panitia LTMPT lewat akun resmi instagramnya @ltmptofficial per tanggal 15 Juni, jumlah peserta sebanyak 673.558 orang. Jumlah ini akan mencapai maksimal 1.462.449 orang hingga batas akhir pendaftaran 20 Juni berdasar Total Siswa Akun Permanen per tanggal 4 April. 
  2. Kepanitiaan lokal (Pusat UTBK) yang ditunjuk oleh LTMPT untuk menyelenggarakan UTBK di Indonesia sebanyak 74 Pusat UTBK. Kenyataannya 74 Pusat UTBK tersebut hampir semuanya terpusat di ibukota provinsi, sehingga pelaksanaan tes UTBK akan “mengundang” peserta dari kabupaten/kota berbondong-bondong menuju ibukota provinsi masing-masing untuk melaksanakan tes (terbukti dari Kartu Peserta yang sudah dicetak bahwa seluruh tes dilaksanakan di ibukota provinsi). Sebagai ilustrasi : Di Provinsi Sulawesi Selatan, Pusat UTBK yg ditunjuk oleh LTMPT ada 2 yakni Pusat UTBK UNHAS (Universitas Hasanuddin) dan Pusat UTBK UNM (Universitas Negeri Makassar). Kedua Pusat UTBK tersebut menentukan lokasi tes seluruhnya berada di Kota Makassar dengan menggunakan ruangan di Kampus (Negeri/Swasta) dan juga ruangan di Sekolah (SMAN/SMKN/SMA). Total Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 24 Kab/Kota. Jadi peserta dari 23 Kab/Kota akan “menyerbu” Makassar untuk melaksanakan tes, termasuk peserta dari Makassar itu sendiri.
  1. Protokol Kesehatan yang akan panitia terapkan, sulit mengakomodir orang banyak sekaligus. Sebagai ilustrasi : Ruangan/Lab. Komputer yang digunakan di suatu sekolah ada 5, kapasitas per ruangan tersebut 10 orang, berarti setiap sesi 50 orang, total per hari ada 4 sesi, jadi sehari selama proses tes akan “didatangi” oleh 200 orang per lokasi tes (estimasi minimal, ada sekolah yang menggunakan ruangan lebih banyak dengan kapasitas lebih besar, apalagi ruangan kampus). Peserta akan diukur suhu tubuhnya, pemeriksaan barang bawaan peserta, pengecekan administrasi (banyak interaksi akan dilakukan). Dan apa setiap lokasi tes menyiapkan wastafel? Lokasi tes di ibukota provinsi tersebar di puluhan lokasi.
  1. Antara sesi ke sesi yg lain, peserta diwajibkan datang 1 jam sebelumnya. Jika 50 orang tes di sesi 1, berarti sebelum peserta tersebut selesai tes, sudah menunggu di luar 50 orang berikutnya sesi 2. Jika tes selesai, 50 orang sesi 1 itu akan keluar dan 50 orang sesi 2 akan bersiap masuk. Pertanyaannya, orang sebanyak itu mau ditempatkan dimana saat pengecekan dan menunggu di luar ruangan? Apa panitia menyiapkan kursi tunggu? Saat arus keluar-masuk peserta (pergantian sesi) sangat mustahil untuk menghindari kontak fisik dan interaksi. Ini belum termasuk “sentuhan” peserta ke media ujian yang disiapkan oleh panitia, yakni Keyboard, Mouse, Meja dan Kursi (tahun lalu bahkan pulpen juga disediakan). Media ujian diatas akan disentuh oleh puluhan orang selama proses tes berlangsung 5-12 Juli.
  1. Peserta datang ke lokasi tes akan menggunakan moda transportasi yang berbeda-beda. Dan karena lebih banyak pendatang (arus peserta dari kab/kota menuju ibukota provinsi), maka bisa dipastikan akan lebih banyak yang menggunakan moda transportasi umum. Penggunaan moda transportasi umum sangat beresiko tinggi.  Peserta juga tidak akan mungkin datang di ibukota provinsi saat hari H, mereka datang minimal H-2 dan akan bermalam di ibukota provinsi tersebut (kebanyakan di rumah keluarga/kerabat), agar bisa ke lokasi tes esok harinya untuk cek lokasi (ceklok), dan ke lokasi tes lusa harinya untuk ujian. Selama bermalam tersebut, banyak hal yang bisa terjadi.
  1. LTMPT yang sudah mengeluarkan jadwal secara resmi yakni 5-12 Juli untuk tes, berbanding terbalik dengan Institusi negara yang lain seperti Sekolah Kedinasan : STIN, Poltek Statistika STIS, Poltek SSN, IPDN, POLTEKIP & POLTEKIM, serta KEMENHUB yang semuanya sama sekali tidak merinci jadwal tes (hanya bulan tanpa tanggal, dan ada juga yang hanya tertulis tentatif tanpa tanggal dan bulan), bahkan PKN STAN sudah resmi tidak membuka pendaftaran tahun ini. Lebih jauh dari itu, bahkan tes SKB (Seleksi Kompetensi Bidang) bagi CPNS 2019, hingga hari ini belum bisa ditentukan waktunya akibat Pandemi Covid19.
  1. Tes masuk perguruan tinggi negeri di tengah Pandemi Covid19 ini adalah sebuah bentuk kecacatan logika. Di saat mahasiswa Indonesia masih kuliah tatap muka online, final online, ujian proposal online, bahkan wisuda juga online, bagaimana mungkin kampus lewat LTMPT menyelenggarakan penerimaan mahasiswa baru yang sifatnya berkumpul? Di satu sisi kampus “menghindari” kerumunan, namun di sisi lain mereka “merestui” kerumunan orang banyak.

SARAN & SOLUSI

  1. RESIKO SELALU ADA, mau bagaimanapun caranya selama peserta harus datang ke suatu lokasi untuk tes, peluang penyebaran secara massif akan selalu ada karena melibatkan puluhan ribu orang di tiap provinsi dan melibatkan jutaan orang se-Indonesia. Ini berlaku bagi semua zona pandemi (hijau-kuning-oranye-merah), karena zona hijau bisa “berubah warna” dengan adanya tes UTBK.
  2. Jika mau RESIKO NOL akibat UTBK, maka UTBK harus ditunda.
  3. Jika mau RESIKO KECIL, maka Panitia LTMPT harus menyelenggarakan tes UTBK di Kab/Kota masing-masing sesuai dengan domisili peserta. Panitia LTMPT bekerjasama dengan Pemda, Kampus, Sekolah di Kab/Kota, toh pelaksanaan di ibukota provinsi juga tetap menggunakanruangan kampus dan ruangan sekolah.
  4. Jika BKN (Badan Kepegawaian Negara) mampu menyelenggarakan tes SKD (Seleksi Kompetensi Dasar) penerimaan CPNS di Kab/Kota masing-masing, kenapa Panitia LTMPT tidak bisa meniru hal tersebut? Padahal pendaftar CPNS 2019 menembus angka lebih dari 5 juta pelamar.

KESIMPULAN

Panitia LTMPT tidak bisa “coba-coba” dengan suatu hal yang akan melibatkan jutaan manusia se- Indonesia. Potensi dampak negatif yang begitu besar tidak bisa diabaikan, karena ini menyangkut kesehatan dan perekonomian nasional yang berujung pada stabilitas nasional. 

Analisa komprehensif harus dilakukan dari berbagai aspek. Pola seleksi konvensional dengan sistem Pusat UTBK sebanyak 74 yang hampir semuanya terpusat dilaksanakan di ibukota provinsi, sangat tidak masuk akal, membahayakan banyak orang dan tidak efisien di tengah pandemi yang berlangsung. 

Kerangka berpikir pelaksanaan UTBK harus berdasar asas manfaat yang sebesar-besarnya buat  masyarakat Indonesia yang akan menempuh pendidikan tinggi, bukan sekedar seremonial menggugurkan kewajiban sebagai rutinitas tahunan.

Jika Panitia LTMPT tetap melaksanakan tes UTBK sesuai dengan ketentuan yang ada, maka Panitia LTMPT harus siap bertanggung jawab secara moral dan hukum kepada masyarakat Indonesia, jika UTBK menjadi “claster baru” bagi penyebaran Covid19.

Demikian aspirasi ini ditulis, untuk menjadi bahan pertimbangan bagi seluruh pihak terkait, demi kebaikan bersama, kebaikan Indonesia.

Wassalaamu ‘Alaikum Wr. Wb.

RAKYAT INDONESIA
SUMBANGSIH PEMIKIRAN 

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close