BeritaBisnisEkonomiInternasionalNasional

BI : Kedepannya Akan Konsisten Menjaga Stabilitas Harga dan Memperkuat Koordinasi Kebijakan Dengan Pemerintah

BIMATA.ID, JAKARTA- Defisit neraca transaksi berjalan Indonesia tahun ini diperkirakan rendah, menjadi sekitar 1,5% produk domestik bruto (PDB). “Ini jauh lebih rendah dari perkiraan semula sebesar 2,5-3% PDB,” ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo di Jakarta, Kamis (18/6).

Ia mengatakan lebih lanjut, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Juni 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,00%. Keputusan ini konsisten dengan upaya menjaga stabilitas perekonomian dan mendorong pemulihan ekonomi di era COVID-19. Ke depan, Bank Indonesia tetap melihat ruang penurunan suku bunga seiring rendahnya tekanan inflasi, terjaganya stabilitas eksternal, dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dan pelonggaran likuiditas (quantitative easing) akan terus dilanjutkan. Beri Jasa Giro  Bank Indonesia juga memutuskan untuk memberikan jasa giro kepada bank yang memenuhi kewajiban giro wajib minimal (GWM) dalam rupiah baik secara harian dan rata-rata sebesar 1,5% per tahun dengan bagian yang diperhitungkan untuk mendapat jasa giro sebesar 3% dari DPK, yang efektif berlaku 1 Agustus 2020.

Selain itu, Bank Indonesia akan memperkuat bauran kebijakan serta bersinergi erat mengambil langkah-langkah kebijakan lanjutan yang diperlukan secara terkoordinasi dengan pemerintah dan KSSK untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta pemulihan ekonomi nasional. Dalam hal ini, Bank Indonesia berkomitmen untuk pendanaan APBN melalui pembelian SBN dari pasar perdana maupun penyediaan dana likuiditas bagi perbankan untuk kelancaran program restrukturisasi kredit (pembiayaan) dalam mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Ekonomi Turun Sementara itu, Direktur Eksekutif-Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko mengatakan dalam keterangan tertulis, kontraksi perekonomian global berlanjut, meski ketidakpastian pasar keuangan global menurun seiring penyebaran COVID-19 yang melandai. “Pembatasan aktivitas ekonomi sebagai langkah penanganan COVID-19 berisiko menurunkan pertumbuhan ekonomi global 2020 lebih besar dari prakiraan awal.

Namun demikian, kontraksi volume perdagangan dunia dan penurunan harga komoditas terlihat tidak sedalam prakiraan sebelumnya,” paparnya. Berbagai stimulus kebijakan fiskal dan moneter juga terus ditempuh banyak negara guna memitigasi risiko kontraksi perekonomian.

Perkembangan terkini menunjukkan, respons kebijakan dan relaksasi pembukaan kembali pembatasan kegiatan ekonomi (lockdown) dengan mempertimbangkan penyebaran COVID-19 yang melandai, mulai mendorong kegiatan ekonomi di beberapa negara. Berbagai indikator dini pada Mei 2020 secara bertahap membaik, seperti kinerja sektor manufaktur yang tercermin dari kenaikan Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur dan konsumsi listrik di Tiongkok, pertumbuhan positif sektor properti di Tiongkok dan Amerika Serikat, serta perbaikan PMI jasa di Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat, meskipun masih pada level yang rendah.

“Perkembangan ini mengurangi ketidakpastian di pasar keuangan global dan mendorong aliran modal global ke negara berkembang, serta mengurangi tekanan nilai tukar mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia,” imbuhnya.

Permintaan Tiongkok Naik Onny mengatakan lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi nasional, diprakirakan menurun pada triwulan II-2020, meski perkembangan terkini menunjukkan tekanan mulai berkurang. Ekspor menurun sejalan dengan kontraksi perekonomian global, sementara konsumsi rumah tangga dan investasi menurun terdampak kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mengurangi akitivitas ekonomi.

Namun, kata Perry, perkembangan pada bulan Mei 2020 mengindikasikan tekanan terhadap perekonomian domestik mulai berkurang. “Kontraksi ekspor juga terlihat tidak sedalam prakiraan sebelumnya, sejalan peningkatan permintaan dari Tiongkok. Beberapa indikator dini permintaan domestik juga mengindikasikan perekonomian telah berada di level terendah dan mulai memasuki tahapan pemulihan seperti tercermin dari penjualan semen, penjualan ritel, PMI, dan ekspektasi konsumen yang lebih baik dari capaian bulan sebelumnya,” tuturnya.

Bank Indonesia memprakirakan proses pemulihan ekonomi mulai menguat pada triwulan III-2020, sejalan dengan relaksasi PSBB sejak pertengahan Juni 2020 serta stimulus kebijakan yang ditempuh. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprakirakan menurun pada kisaran 0,9%-1,9% pada 2020.

“Namun, pertumbuhan kembali meningkat pada kisaran 5,0%-6,0% pada 2021, didorong dampak perbaikan ekonomi global dan stimulus kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia. Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat sinergi dengan pemerintah dan otoritas terkait agar berbagai kebijakan yang ditempuh dapat semakin efektif dalam mendorong pemulihan ekonomi selama dan pasca COVID-19,” paparnya.

Ia mengatakan lebih lanjut, ketahanan sektor eksternal ekonomi Indonesia triwulan II-2020 tetap baik. Defisit transaksi berjalan diprakirakan rendah didukung prospek perbaikan neraca perdagangan akibat penurunan impor sejalan permintaan domestik yang lemah dan berkurangnya kebutuhan input produksi untuk kegiatan ekspor. Net Capital Inflow Perry mengungkapkan, data Mei 2020 menunjukkan, neraca perdagangan mencatatkan surplus 2,09 miliar dolar AS, membaik dari kondisi bulan April yang mengalami defisit 372,1 juta dolar AS.

Selain itu, aliran masuk modal asing juga kembali berlanjut dipengaruhi meredanya ketidakpastian pasar keuangan global serta tetap tingginya daya tarik aset keuangan domestik dan tetap baiknya prospek perekonomian Indonesia. Aliran modal asing dalam bentuk investasi portofolio pada triwulan II-2020 hingga 15 Juni 2020 tercatat net inflows sebesar 7,3 miliar dolar AS. Ini mendorong posisi cadangan devisa pada akhir Mei 2020 meningkat menjadi 130,5 miliar dolar AS, setara pembiayaan 8,3 bulan impor atau 8,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Ke depan, lanjut dia, terdapat kecenderungan defisit transaksi berjalan akan lebih rendah, dan terdapat kemungkinan akan berada di sekitar 1,5% PDB pada 2020, jauh di bawah prakiraan semula 2,5%-3,0% PDB. Demikian pula defisit transaksi berjalan pada 2021 diprakirakan akan berada di bawah 2,5%-3,0% PDB. Kurs Rupiah Menguat Perry mengatakan, nilai tukar rupiah juga terus menguat seiring berlanjutnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik. Sampai dengan 17 Juni 2020, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar 3,75% secara point to point atau 5,69% secara rerata dibandingkan dengan level Mei 2020, meski masih terdepresiasi sebesar 1,42% bila dibandingkan dengan level akhir 2019.

“Berlanjutnya penguatan rupiah ditopang oleh meredanya ketidakpastian pasar keuangan global serta tingginya daya tarik aset keuangan domestik dan terjaganya kepercayaan investor asing terhadap prospek kondisi ekonomi Indonesia. Bank Indonesia memandang level nilai tukar rupiah secara fundamental masih undervalued sehingga berpotensi terus menguat dan dapat mendukung pemulihan ekonomi domestik,” paparnya.

Potensi penguatan nilai tukar rupiah ini didukung oleh beberapa faktor fundamental, seperti inflasi yang rendah dan terkendali, defisit transaksi berjalan yang rendah, imbal hasil aset keuangan domestik yang kompetitif, dan premi risiko Indonesia yang mulai menurun. Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar, Bank Indonesia akan terus mengoptimalkan operasi moneter guna memastikan bekerjanya mekanisme pasar dan ketersediaan likuiditas di pasar uang maupun pasar valas.

Inflasi Rendah Inflasi, lanjut dia, juga tetap rendah dan mendukung stabilitas perekonomian. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Mei 2020 tercatat sedikit menurun dari sebesar 0,08% (mtm) pada April 2020 menjadi 0,07% (mtm). Inflasi Mei 2020 ini lebih rendah dibandingkan dengan pola inflasi pada periode Ramadan dan Idulfitri, yang dalam lima tahun terakhir rata-rata tercatat 0,69% (mtm). Dengan perkembangan tersebut, secara tahunan inflasi IHK Mei 2020 tercatat sebesar 2,19% (yoy), menurun dibandingkan dengan inflasi April sebesar 2,67% (yoy).

Berdasarkan komponen, inflasi inti menurun dipengaruhi melambatnya permintaan domestik dan konsistensi Bank Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi inflasi sesuai target. Kelompok volatile food mencatat deflasi terutama dipengaruhi koreksi harga beberapa komoditas akibat melambatnya permintaan, memadainya pasokan dan terjaganya distribusi barang. Sementara itu, kelompok administered prices mencatat inflasi terutama didorong peningkatan musiman tarif angkutan udara, tarif kereta api, dan harga rokok kretek filter.

“Ke depan, Bank Indonesia konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk mengendalikan inflasi tetap rendah dalam sasarannya sebesar 3,0% ± 1% pada 2020 dan 2021,” tandasnya.

Bunga Kredit Turun Kondisi likuiditas perbankan juga tetap memadai dan mendukung berlanjutnya penurunan suku bunga. Likuiditas perbankan yang memadai tercermin pada rerata harian volume PUAB Mei 2020 yang tetap tinggi yakni Rp 9,9 triliun serta rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang tetap besar yakni 25,14% pada April 2020.

Perkembangan itu berdampak positif pada penurunan suku bunga. Pada Mei 2020, rerata suku bunga PUAB O/N dan suku bunga JIBOR tenor 1 minggu bergerak stabil di sekitar level BI7DRR yakni 4,33% dan 4,60%. Rerata tertimbang suku bunga deposito dan kredit modal kerja menurun menjadi 5,84% dan 9,60%. Penurunan suku bunga ini sejalan transmisi penurunan suku bunga Bank Indonesia yang telah dilakukan dan strategi Bank Indonesia dalam menjaga kecukupan likuditas perekonomian.

Di tengah kondisi suku bunga yang menurun, lanjut dia, pertumbuhan besaran moneter M1 dan M2 pada April 2020 masih lemah yakni tercatat 8,4% (yoy) dan 8,6% (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya. Perkembangan itu dipengaruhi perekonomian yang belum kuat, yang mengakibatkan lemahnya permintaan uang, termasuk permintaan kredit. Ke depan, tandas dia, Bank Indonesia terus memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan dalam mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional, khususnya restrukturisasi kredit perbankan.

“Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, namun risiko dari dampak meluasnya penyebaran COVID-19 terhadap stabilitas sistem keuangan terus dicermati. Stabilitas sistem keuangan yang terjaga tercermin dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan April 2020 yang tinggi yakni 22,03%, dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) yang tetap rendah yakni 2,89% (bruto) dan 1,13% (neto),” ucapnya kepada investor.id.

Namun demikian, fungsi intermediasi belum optimal sejalan melemahnya permintaan domestik dan makin berhati-hatinya perbankan dalam menyalurkan kredit akibat meluasnya dampak COVID-19. Perkembangan yang terus mendapat perhatian ini tercermin dari pertumbuhan kredit pada April 2020 yang tetap lemah, yaitu tercatat sebesar 5,73 (yoy).

Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) tercatat lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kredit yakni sebesar 8,08% (yoy), meskipun juga belum kuat. Ke depan, Bank Indonesia tetap menempuh kebijakan makroprudensial yang akomodatif sejalan dengan bauran kebijakan yang telah diambil sebelumnya serta bauran kebijakan nasional, termasuk berbagai upaya untuk memitigasi risiko di sektor keuangan akibat penyebaran COVID-19.

“Untuk kelancaran sistem pembayaran, baik tunai maupun nontunai, tetap terjaga. Posisi Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) pada Mei 2020 mencapai Rp 798,6 trilun, tumbuh negatif sebesar 6,06% (yoy), sejalan dengan dampak menurunnya permintaan uang baik akibat kegiatan ekonomi pada masa pandemi COVID-19 yang melemah maupun dampak penundaan cuti bersama Idulfitri,” ujarnya.

Sejalan dengan kegiatan ekonomi yang menurun, secara keseluruhan, transaksi nontunai menggunakan ATM, Kartu Debit, Kartu Kredit, dan Uang Elektronik (UE) pada April 2020 juga menurun dari -4,72% pada Maret 2020 menjadi -18,96% (yoy).

“Namun demikian, khusus transaksi UE pada April 2020 tetap tumbuh tinggi mencapai 64,48% (yoy) dan volume transaksi digital banking pada April 2020 tumbuh 37,35% (yoy). Perkembangan ini mengindikasikan menguatnya kebutuhan transaksi ekonomi dan keuangan digital (EKD), termasuk meningkatnya akseptasi masyarakat terhadap digital payment di tengah penurunan aktivitas ekonomi selama masa PSBB,” ucapnya.

Ke depan, Bank Indonesia akan terus meningkatkan efektivitas kebijakan sistem pembayaran di era kenormalan baru, khususnya untuk mendorong aktivitas ekonomi digital melalui perluasan implementasi QRIS di berbagai sektor. Bank Indonesia juga terus mendukung efektivitas berbagai program pemerintah untuk Pemulihan Ekonomi Nasional seperti penyaluran Bantuan Sosial nontunai dan Gerakan Bangga Buatan Indonesia melalui ketersediaan infrastruktur sistem pembayaran dan kemudahan penggunaan instrumen pembayaran.

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close