BIMATA.ID, JAKARTA- Direktur eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengungkapkan bahwa energi baru dan terbarukan (EBT) di Tanah Air sulit berkembang. Pasalnya, kebijakan energi nasional (KEN) saat ini masih didominasi oleh energi fosil.
Capaian pembangunan energi terbarukan kita tertinggal jauh dengan Vietnam. Negeri jiran itu bisa membangun 5,5 GW (gigawat) pembangkit surya dan angin sekitar 800 MW, hanya dalam waktu dua tahun.
Sementara, Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir, energi terbarukannya tidak banyak berkembang. Dari data yang ada, Indonesia hanya 1,6 gigawatt atau hanya 400 megawatt per tahun.
“Sedangkan, Indonesia saat ini pembangkit surya hanya 150 MW dan angin kurang dari 100 MW,” kata Fabby dalam diskusi secara virtual, Rabu (17/6/2020).
Lambannya pembangunan energi baru dan terbarukan di Indonesia tak lepas dari kepentingan dari sumber energi lain yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Situasi itulah yang akhirnya membuat pemerintah menjadi gamang dalam mengembangkan EBT.
“Pemerintah saat ini masih mengoptimalkan pemanfaatan sumber energi dari batu bara,” terangnya.
Fabby menambahkan, saat ini tren teknologi EBT yang semakin kompetitif harganya adalah pembangkit listrik tenaga surya dan angin. Di beberapa negara, pemerintahnya melakukan penurunan harga investasi terhadap energi surya dan angin. Hal itu dilakukan untuk memacu pertumbuhan EBT.
“Bauran kebijakan untuk memudahkan investasi energi terbarukan tidak tertuang dalam kebijakan energi nasional. Hasilnya, pengembangan EBT seperti jalan ditempat” pungkasnya
Di tahun 2025 Indonesia menargetkan penggunaan energi terbarukan naik menjadi 23%. Sekitar 77% masih mengandalkan energi fosil.