Bimata

LNG RI Lebih Murah Dari Segelas Ice Coffee Latte Starbucks

BIMATA.ID, JAKARTA- Berbeda nasib dengan harga minyak, yang sempat minus dan kini mulai bangkit lagi di tengah pandemi. Harga LNG atau gas alam cair justru masih memprihatinkan, padahal ini salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia.

Pemerhati Energi sekaligus Founder & CEO Digital Energy Asia Salis Aprilian mengatakan untuk LNG Indonesia, karena berpatokan pada harga minyak, maka harga LNG pun turut terdampak pada anjloknya harga minyak.

“Tapi karena jual-beli LNG umumnya dalam kontrak jangka panjang, maka harganya tidak terlalu fluktuatif dibanding harga minyak. Kecuali harga LNG spot market, ini tergantung supply-demand di splot,” ungkapnya. Rabu, (10/06/2020).

Lebih lanjut ia mengatakan, dengan harga minyak di kisaran US$ 30-40 per barel, maka harga LNG kini berada di kisaran US$ 3-4 per MMSCFD. Ini, kata dia, merupakan harga LNG terendah dalam 5 tahun terakhir.

“Sebetulnya dengan harga minyak yang sangat rendah (terendah dalam 5 tahun terakhir ini) harga LNG juga merupakan terendah dalam kurun waktu tersebut,” jelasnya.

Harga US$ 3 per MMSCFD setara dengan Rp 42 ribu, lebih murah daripada segelas iced coffee latte di Starbucsk yang mencapai Rp 44 ribu.

Sebelumnya, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan meski investasi hulu migas sudah mulai membaik, namun harga LNG atau gas alam cair saat ini masih rendah.

“Brent Crude price hari ini dan kemarin sudah diatas US$ 40. Mestinya ICP juga sudah bisa lebih tinggi. Dengan sudah membaiknya oil price, maka investasi di hulu migas juga akan membaik. Saat ini harga LNG yang masih terlalu rendah,” ungkapnya saat dihubungi, Selasa, (09/06/2020).

Dwi mengatakan, upaya yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mengoptimalkan kegiatan hulu migas dengan normal baru.

“Selanjutnya menunggu bagaimana mengoptimalkan kegiatan di hulu migas di era “New Normal”,” jelasnya.

Dampak dari pandemi corona (Covid-19) yang membuat harga minyak terjun bebas juga membuat target lifting tahun ini turun. Pihaknya memproyeksikan lifting minyak tahun ini akan berada di kisaran 705.000-710.000 barel minyak per hari (BOPD). Secara teknis tahun ini ditargetkan 735.000 BOPD, sementara secara APBN targetnya adalah 755.000 BOPD.

“Jadi kira-kira ada 8% kurang lebih dampak dari Covid-19 dan harga minyak ini yang kemudian, yang cukup besar di gas, karena di gas ini disamping permasalahan tingkat keekonomian investasi serapan juga sangat rendah dengan adanya Covid-19 ini. Gas terdampak 15% dari target yang diharapkan APBN,” kata Dwi.

 

 

sumber:cnbcindonesia.com

Exit mobile version