BIMATA.ID, JAKARTA- Perum Bulog menargetkan bisa menyerap 600.000 ton hingga 650.000 ton beras hingga Juni tahun ini. Meski begitu, hingga 16 Mei, Bulog baru menyerap sekitar 320.000 ton.
Melihat capaian serapan ini, Pengamat Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menilai, akan sulit bagi Bulog untuk mencapai target pengadaan sesuai dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan khususnya di sentra produksi beras seperti di Jawa dan Lampung.
Dia pun mengatakan Bulog masih bisa mencapai target tersebut bila Bulog diberikan relaksasi yakni kelonggaran atau fleksibilitas harga 10%, khususnya di sentra produksi gabah.
“Kalau bisa diberikan relaksasi 10% saja, kita masih bisa menyerap di sentra produksi,” ujar Dwi kepada Kontan, Minggu (17/5).
Berdasarkan hasil kajian Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), harga beras di tingkat usaha tani sudah mencapai Rp 9.300 per kg, sementara HPP beras sebesar Rp 8.300 per kg, lalu harga gabah di tingkat usaha petani sekitar Rp 4.400 per kg, sementara HPP gabah sebesar Rp 4.200 per kg.
“Kalau tidak diberikan relaksasi, sulit [menyerap], kecuali bisa mendapatkan beras di lokasi remote, yang jauh, Itu masih ada kemungkinan,” kata Dwi.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan, kendala yang dihadapi oleh Bulog dalam melakukan penyerapan gabah/beras adalah harga yang masih berada di atas HPP juga petani yang menyimpan beras dan yang sudah melakukan sistem ijon.
Dwi membenarkan saat ini memang ada petani yang menyimpan gabah/beras. Terdapat petani yang menahan berasnya untuk menunggu harga beras kembeli meningkat.
“Hampir 50% gabah/beras itu di tangan petani saat ini. Sebagian ditahan, menunggu harganya membaik. Sekarang belum membaik, sekarang ini harga turun terus, Rp 9.300 itu harga terendah,” kata Dwi.
Sumber :industri.kontan.co.id
Editor :ZBP