Opini

Pemerintah Tak Perlu Alergi Bahas RUU ASN

Penulis: Eroby J Fahmi Jurnalis

BIMATA.ID, Jakarta – DPR RI resmi mengajukan kembali Rancangan Undang Undang (RUU) Aparatur Sipil Negara (ASN) kepada Pemerintah usai ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR RI pada Sidang Paripurna, 2 April 2020 lalu.

Rencana perubahan yang diinisiasi Partai Gerindra ini sebetulnya pernah diajukan kepada Pemerintah pada Desember 2016. Namun, perbaikan terhadap Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 urung dilakukan karena gagal dibahas bersama Pemerintah hingga berakhirnya masa jabatan DPR RI periode 2014-2019. Walaupun, kala itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirimkan Surat Presiden (Supres) ke DPR RI.

Terdapat beberapa perubahan yang diusulkan DPR RI dalam draf revisi UU ini. Seperti penghapusan Komisi ASN dan pengisian jabatan pimpinan tinggi secara terbuka melalui panitia seleksi tanpa melibatkan KASN.

Meski begitu, hanya ada dua isu besar yang disorot dalam usulannya. Yakni, soal tenaga honorer dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dua isu ini menjadi sorotan utama karena menyangkut nasib ratusan ribu, bahkan jutaan tenaga honorer dan PPPK di Indonesia.

Terkait tenaga honorer, DPR menginginkan agar Pemerintah Pusat wajib mengangkat semua tenaga honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa tes. Pengangkatan PNS ini bagi mereka yang memperoleh Surat Keputusan (SK) sampai dengan 15 Januari 2014.

Karena tanpa tes, tenaga honorer hanya diwajibkan mengikuti seleksi administrasi berupa verifikasi dan validasi data SK pengangkatan. Bila mereka menolak menjadi PNS, maka Pemerintah Pusat wajib mengangkat mereka menjadi PPPK.

DPR RI juga mengharuskan Pemerintah mengangkat tenaga honorer menjadi PNS dimulai enam bulan dan paling lama lima tahun setelah UU ini diundangkan. Dalam proses menunggu pengangkatan, mereka wajib diberikan gaji paling sedikit sebesar upah minimum Provinsi atau Kabupaten atau Kota.

Hal itu semua sebagaimana diatur dalam usulan revisi Pasal 131 A yang terdiri 6 ayat, dan Pasal 135 A yang berisi 3 ayat.

Adapun mengenai PPPK, DPR RI mengusulkan agar mereka memperoleh hak jaminan pensiun dan jaminan hari tua, selain tentunya hak gaji, tunjangan, fasilitas, cuti, pengembangan kompetensi, dan perlindungan. Hal ini seperti termaktub dalam Pasal 22, Pasal 93, dan Pasal 105 A.

Selain itu, DPR RI menghapus semua Pasal 99. Pasal ini mengatur bahwa PPPK tidak dapat diangkat secara otomatis menjadi calon PNS. Penghapusan termasuk ketentuan yang menyatakan PPPK harus mengikuti semua proses seleksi yang dilaksanakan bagi calon PNS untuk diangkat menjadi calon PNS tanpa tes.

Tentunya, usulan DPR RI ini merupakan angin segar bagi tenaga honorer dan PPPK. Bagi tenaga honorer, mereka akan memiliki payung hukum yang kuat untuk diangkat menjadi PNS. Ada harapan besar bagi mereka yang selama ini terkatung-terkatung nasibnya untuk diangkat menjadi PNS.

Kabar gembira juga dirasakan oleh keluarga mereka. Ada harapan perbaikan nasib menjadi lebih baik bila diangkat menjadi PNS, yang selama ini kondisi mereka terbatas karena hak yang diterima kurang layak.

Bagi PPPK, walau masa kerja minimal yang diatur adalah satu tahun tapi mereka akan mendapatkan kepastian jaminan pensiun dan jaminan hari tua. Mereka juga berkesempatan besar diangkat secara otomatis menjadi calon PNS.

Usulan-usulan tersebut merupakan aspirasi yang sudah lama diperjuangkan oleh para tenaga honorer, bahkan sebelum UU ASN diundangkan 15 Januari 2014 lalu. Secara politis sangat penting bagi partai politik (Parpol) dan Anggota DPR RI untuk mewujudkan aspirasi para tenaga honorer tersebut.

Mengabaikan aspirasi para tenaga honorer akan sangat berpengaruh pada simpati dan dukungan terhadap Parpol dan Anggota DPR RI. Terlebih, jumlah mereka yang bila ditambah dengan keluarganya bisa mencapai jutaan orang yang tersebar di seluruh Indonesia, akan menjadi bola panas bila kebutuhan para tenaga honorer ini tidak terwadahi.

Memperjuangkan aspirasi mereka sampai berhasil tentu akan menjadi nilai tambahan bagi Parpol dan Anggota DPR RI. Parpol dan Anggota DPR RI akan dianggap oleh para tenaga honorer dan keluarganya sebagai pembawa aspirasi mereka. Yang pada akhirnya, Parpol dan Anggota DPR RI berharap akan didukung dan dipilih kembali pada pemilihan umum (Pemilu) nanti.

Tujuan politis dari revisi UU ASN ini tak bisa dielak sehingga yang dilakukan Parpol dan Anggota DPR RI adalah melempar secepatnya bola panas ini ke Pemerintah. Toh, bila usulan ini gagal dibahas kembali, Parpol dan Anggota DPR RI bisa beralasan bahwa mereka sudah benar-benar memperjuangkannya di DPR RI.

Nah, inilah yang menyisakan persoalan bagi Pemerintah. Dalam catatan Pemerintah, sedikitnya ada 439 ribu tenaga honorer Kategori II (K2). Jika semua tenaga honorer itu dijadikan PNS dalam Pemerintah, negara akan terbebani kewajiban membayar sekitar Rp 23 triliun per tahun untuk menggaji mereka.

Jumlah yang tak sedikit tentunya. Terlebih kondisi perekonomian saat ini yang tengah melesu luar biasa karena efek pandemi Covid-19. Pun, sebelum adanya pandemi Covid-19 Pemerintah sudah merasa keberatan bila semua tenaga honorer wajib diangkat tanpa tes. Persoalannya sama, beban APBN yang terlalu tinggi untuk mengcover semua gaji untuk tenaga honorer yang diangkat menjadi PNS.

Terbukti, dari usulan perbaikan UU ASN pada periode lalu, Pemerintah mengelak diam-diam mengundur-undur pembahasan hingga masa jabatan DPR RI berakhir.

Padahal, Presiden Jokowi sudah mengirimkan Supres ke DPR RI yang mengutus Kementerian terkait untuk membahas usulan revisi dari DPR RI. Entah bagaimana ceritanya, Supres yang sudah dikirimkan ke DPR RI itu tak mampu menghadirkan perwakilan Pemerintah untuk membahas RUU ASN.

Persoalan lainnya adalah pengangkatan tenaga honorer tanpa tes. Ketentuan ini secara langsung akan mengurangi kualitas PNS. Kita tak pernah tahu bagaimana keahlian, kemampuan, dan kualitas tenaga honorer yang jadi PNS.

Hal ini bukan barang sepele. Bagaimana kualitas pelayanan publik akan menjadi lebih baik, jika kualitas pegawai publiknya tak diketahui. Bila kemampuan mereka pas-pasan atau bahkan di bawah standar, terlebih jumlahnya ratusan ribu orang akan menjadi masalah baru.

Demikian halnya aturan bagi PPPK yang bisa secara otomatis menjadi calon PNS tanpa tes. Sebaiknya, mekanisme tes tetap diperlukan bagi tenaga honorer maupun PPPK ketika ingin menjadi calon PNS.

Standar yang tinggi akan memaksa mereka untuk belajar dan memiliki keahlian lebih baik lagi. Misalnya, syarat skor minimal TOEFL minimal 450 akan memaksa mereka untuk memiliki keahlian lebih baik lagi dalam Bahasa Inggris.

Lalu, bagaimana dengan penghargaan dari Pemerintah bagi tenaga honorer dan PPPK yang sudah mengabdi puluhan tahun? Penghargaan kepada mereka tentu harus sesuai dengan kapasitas dan keahliannya. Bukan dipukul rata bahwa semua tenaga honorer dan PPPK harus diangkat menjadi PNS tanpa tes.

Di sini pentingnya DPR RI dan Pemerintah urun rembug. Pemerintah jangan alergi untuk membahas usulan revisi ini. Karena, tampak sekali bila Pemerintah enggan membahasnya. Harus ada kemauan keras dari Pemerintah dan DPR RI untuk mencari solusi masalah ini, bukan mengulur-ulur dan mengabaikannya.

Saat ini bola panas berada di Pemerintah, apakah akan kembali segera melakukan pembahasan atau mengulangi seperti periode sebelumnya?

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close