Oleh : Heri Gunawan
Anggota DPR-RI Fraksi Partai Gerindra
BIMATA.ID, OPINI — Di tengah konsentrasi bangsa Indonesia menghadapi Pandemi Covid-19, Pemerintah menaikkan Iuran BPJS secara berjenjang yakni 2020 dan 2021.
Kenaikan Iuran BPJS jilid II ini diatur dalam Perpres No. 64/2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020) dan diundangkan oleh Menkum HAM Yasonna H. Laoly pada Rabu (6/5/2020).
Perpres 64/2020 mengatur perubahan besaran iuran dan adanya “bantuan” iuran bagi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) oleh pemerintah. Peserta segmen PBPU dan BP disebut sebagai peserta mandiri.
Iuran BPJS yang akan naik pada 1 Juli 2020 yaitu, Pertama, peserta mandiri Kelas III membayar iuran sebesar Rp 25.500 sedangkan Pemerintah pusat menambahkan “bantuan” iuran Rp 16.500 untuk setiap peserta mandiri, sehingga total iurannya menjadi Rp. 42.000. Kedua, peserta mandiri Kelas II meningkat menjadi Rp. 100.000, dari saat ini sebesar Rp. 51.000. Lalu, Ayat 3 mengatur iuran peserta mandiri Kelas I naik menjadi Rp. 150.000, dari saat ini Rp. 80.000.
Adapun, peserta mandiri Kelas III yang sebelumnya iurannya dibayarkan oleh pemerintah daerah besaran iurannya sebesar Rp. 25.500.
Besaran iuran Kelas III yang dibayarkan peserta mandiri maupun yang dibayarkan oleh pemerintah daerah akan meningkat pada 2021 menjadi Rp35.000. Namun, besaran iuran yang dibayarkan pemerintah pusat menjadi Rp7.000, sehingga total iuran peserta mandiri per orang per bulannya tetap Rp. 42.000.
Sebelum kenaikan Jilid II ini, pemerintah sempat menaikkan besaran iuran peserta mandiri pada 1 Januari 2020 berdasarkan Perpres No. 75 Tahun 2019. Namun, pada Maret 2020 Perpres tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Pertimbangan Mahkamah Agung membatalkan Perpres No. 75/2019 adalah :
- Ketidakseriusan Kementerian-kementerian terkait dalam berkoordinasi antara satu dengan yang lainnya dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing yang berhubungan dengan penyelenggaraan program jaminan sosial ini;
- Ketidakjelasan eksistensi Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional, karena hingga saat ini pun boleh jadi masyarakat belum mengetahui institusi apa itu;
- Adanya kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS;
- Mandulnya Satuan Pengawas Internal BPJS dalam melaksanakan pengawasan, sehingga menimbulkan kesan adanya pembiaran terhadap kecurangan-kecurangan yang terjadi.
Lebih lanjut Mahkamah Agung menegaskan bahwa kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2.
Kesalahan dan kecurangan (fraud) pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS tersebut haruslah dicarikan jalan keluar yang baik dan bijaksana dengan memperbaiki kesalahan dan kecurangan yang telah terjadi tanpa harus membebankan masyarakat untuk menanggung kerugian yang ditimbulkan.
Pembiaran terhadap Kesalahan dan kecurangan (fraud) yang terjadi justru pada akhirnya akan merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran bersama berupa kehendak politik (political will) dari Presiden beserta jajarannya selaku pemegang kekuasaan pemerintahan dan niat baik (good will) dari masyarakat dan penyelenggara program jaminan sosial.
Yaitu untuk bersama-sama memperbaiki akar persoalan yang ada, membenahi sistem sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan program jaminan kesehatan yang sedang berjalan. Agar tujuan untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dapat terwujud.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, kenaikan Iuran bagi peserta PBPU dan Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75 Tahun 2019 secara sosiologis adalah bertentangan dengan kehendak masyarakat.
Dan dengan dibatalkannya Pasal 34 Perpres 75/2019, maka iuran BPJS kembali ke iuran semula, yaitu:
- Sebesar Rp 25.500 untuk kelas 3
- Sebesar Rp 51 ribu untuk kelas 2
- Sebesar Rp 80 ribu untuk kelas 1
Menanggapi kenaikan iuran BPJS Jilid II oleh pemerintah berdasarkan Perpres 64/2020, setidaknya ada 3 (tiga) alasan kenapa kenaikan tersebut tidak tepat, yaitu :
- Kenaikan iuran BPJS di tengah Pandemi Covid-19 sangat tidak tepat. Sekarang ekonomi sedang terpuruk. Menurut BPS, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2020 hanya mencapai 2,97%. Itu artinya, rakyat mengalami penurunan ekonomi yang sangat drastis.
- Kenaikan iuran BPJS juga tidak sesuai dengan semangat pemerintah yang sedang menggenjot stimulus perekonomian nasional. Di satu sisi Pemerintah mengguyur dengan berbagai program seperti restrukturisasi kredit, insentif perpajakan dan bantuan sosial. Namun di sisi lain tetap menaikkan pungutan yang memberatkan rakyat. Ini ibaratnya masuk kantong kanan keluar kantong kiri.
- Pemerintah belum melaksanakan pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan MA saat membatalkan Perpres 75/2019.
(****)