BIMATA.ID, JAKARTA- Sebagai negara penghasil energi primer, Indonesia memiliki peluang besar untuk menghasilkan sendiri energi sekunder dengan harga lebih murah, seperti halnya listrik.
“Sudah menjadi tugas negara agar semua hasil energi primer bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Tentu saja energi itu harus sesuai dengan harga sebenarnya supaya rakyat menikmati dampaknya guna mempertahankan hidup,” ungkap Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur Bambang Haryo Soekartono mengatakan, Minggu (10/5/2020).
Di tengah anjloknya harga minyak, revaluasi harga BBM menurutnya harus diprioritaskan untuk solar, baik yang disubsidi maupun nonsubsidi, sebab bahan bakar ini digunakan secara luas oleh sektor industri, transportasi, perikanan, pariwisata, pembangkit listrik, dan UMKM.
“Jadi apabila harga solar murah, dampaknya akan sangat besar bagi perekonomian. Dunia usaha terbantu untuk bertahan hidup menghadapi dampak corona, sehingga bisa menggerakkan kembali ekonomi dan mencegah PHK massal,” ujar Bambang Soekartono.
Ia pun mengharapkan agar Presiden Joko Widodo turun tangan agar menteri dan Pertamina tidak terjebak dalam permainan spekulan atau kartel minyak. “Ini kesempatan bagi Presiden Jokowi untuk membuktikan benar-benar pro-rakyat. Jika harga solar turun sesuai harga sebenarnya, berarti presiden telah berani menyikat kartel energi yang membuat harga BBM mahal,” ujarnya.
Berdasarkan data Globalpetrolprices.com, harga BBM khususnya solar terus turun sejak akhir Januari. Sebagian besar negara di ASEAN telah menyesuaikan harga solar seiring dengan penurunan harga minyak dunia, kecuali Indonesia. Malaysia merupakan negara paling agresif menyesuaikan harga solar dan menjadi yang terendah di ASEAN, yakni US$ 0,32 per liter per 27 April 2020.
Harga solar Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya yang bukan penghasil minyak, seperti Filipina, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar. Indonesia hanya lebih murah dari Singapura dan Laos. Tetapi di beberapa sektor harga solar di Singapura lebih murah daripada di Indonesia dan bahkan hingga Rp 3.300 per liternya.
Dia menegaskan Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara ASEAN lainnya yang bukan penghasil minyak, termasuk dengan Malaysia yang menjual BBM lebih murah. “Indonesia termasuk negara penghasil minyak yang cukup besar, bahkan salah satu penghasil gas terbesar Asia,” ungkapnya.
Harga solar yang mahal bisa menghancurkan sektor transportasi beserta sistem konektivitas nasional yang sangat kompleks dan dibangun dengan susah payah. Sebagai negara kepulauan dengan luas 5 juta km2, Indonesia dinilai memiliki sistem antarmoda atau konektivitas yang sudah terbangun sedemikian rupa.
“Kalau transportasi sampai kolaps, untuk menghidupkannya lagi akan susah. Sebagai negara kepulauan, apabila konektivitas hancur maka NKRI terancam bubar sebab distribusi barang menjadi mandek,” ungkap matan senior investigator Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) ini.
Sumber :beritasatu.com
Editor :ZBP