BIMATA.ID, JAKARTA- Harga batu bara harus kembali terkapar lesu di titik terendah sejak Mei 2016. Pandemi virus corona (Covid-19) telah membuat dinamika pasar berubah, permintaan batu bara pun ikut melemah.
Senin (4/5/2020) harga batu bara kontrak berjangka acuan Newcastle (6.000 Kcal/Kg) ditutup ambles 1,81% ke US$ 51,45/ton. Mengawali pekan ini harga ’emas hitam’ harus kembali tersungkur.
Prospek permintaan batu bara di kawasan Asia Pasifik terutama untuk jalur laut memang sedang lesu. Koreksi ini terjadi di tengah masih terbatas permintaan batu bara menyusul kebijakan lockdown di negara-negara utama konsumen batu bara seperti India dan China. Berhentinya aktivitas manufaktur akibat lockdown memicu terhentinya pasokan energi tersebut karena permintaan anjlok.
Produsen utama batu bara di Negeri Panda memangkas harga kontrak April karena minat beli yang sangat rendah dengan pasokan yang masih menggunung di pelabuhan mereka di pesisir Utara dan mencapai level tertingginya sejak 2015.
Pasar batu bara kalori tinggi juga tidak bagus-bagus amat. PLN-nya Jepang yakni Tohoku dan raksasa batu bara Australia Glencore, misalnya, sepakat menjual batu bara di harga US$ 68,75/ton untuk batu bara berkadar 6.322 kcal/kg pengiriman April 2020 hingga Maret 2021.
Sementara itu di AS, pandemi Covid-19 membuat konsumsi batu bara untuk sektor tenaga listrik Paman Sam menurun. Listrik yang dihasilkan oleh sumber-sumber energi terbarukan seperti matahari, angin dan air telah melampaui tenaga batu bara di Amerika Serikat dalam 40 hari berturut-turut, menurut sebuah laporan berdasarkan data pemerintah AS yang dirilis pada hari Senin.
Dorongan permintaan energi terbarukan ini dipicu oleh peningkatan tersedianya pembangkit listrik tenaga surya dan air berbiaya rendah, bersamaan dengan penurunan permintaan listrik secara keseluruhan yang disebabkan oleh pembatasan sosial yang diterapkan di AS, menurut Institute for Energy Economics dan Analisis Keuangan (IEEFA).
Sumber :cnbcindonesia.com
Editor :ZBP