Opini

Perpres 54 Tahun 2020 Mengebiri HAK Konstitusional DPR ?

Oleh: Heri Gunawan Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra
Dapil Jawa Barat IV, 10 April 2020

OPINI, — Setelah Perppu 1/2020 1/2020 yang penuh kontroversial, karena mirip-mirip omnibus law gaya baru, kini pemerintah memproduksi Perpres yang tidak kalah kontroversialnya yakni Perpres 54/2020 tentang Perubahan Postur Dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.

Secara garis besarnya, Perpres 54/2020 telah mengubah target penerimaan negara menjadi Rp1.760,9 triliun, nilai itu turun Rp472,3 triliun dari target awal penerimaan negara sebelumnya sebesar Rp2.233,2 triliun. Angka tersebut terdiri atas penerimaan perpajakan sebesar Rp1.462,6 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp297,8 triliun sebelumnya Rp366,9 miliar, dan penerimaan hibah sebesar Rp498 miliar. 

Sementara itu, untuk alokasi belanja negara meningkat Rp73 triliun dari sebelumnya Rp2.540,4 triliun menjadi sebesar Rp2.613,8 triliun. Adapun dalam Perpres disebutkan belanja negara terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.851 triliun dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp 761,7 triliun. 

Nantinya pembiayaan anggaran akan melalui pembiayaan utang, pemberian pinjaman, kewajiban pinjaman, dan pembiayaan lainnya. 

Defisit anggaran yang tadinya hanya 1,76 persen diubah menjadi 5,07 persen. Total utang yang tadinya hanya Rp. 307,2 triliun berubah menjadi Rp. 852,93 triliun. Selain itu, defisit keseimbangan primer juga akan meningkat dari Rp12 triliun menjadi Rp517,7 triliun.

Dari sisi belanja pemerintah pusat, Menteri Keuangan bisa menetapkan pergeseran pagu antar anggaran, perubahan belanja yang bersumber dari PNBP dan penggunaan kas BLU serta pinjaman luar negeri, perubahan kewajiban yang timbul dari penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL), pinjaman tunai, penerbitan SBN, dan kas BLU, hingga realokasi anggaran bunga utang.

Dalam aspek Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), Kementerian Keuangan bisa menyesuaikan alokasi Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Transfer Khusus (DTK), Dana Insentif Daerah (DID), dana desa, hingga memotong dan menunda penyaluran TKDD.

Di dalam Perpres tersebut dicantumkan dasar hukum pembuatannya adalah Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 dan Perppu 1/2020. Dari sini dapat disimpulkan tampaknya pemerintah ingin mengebut sendiri dengan mengabaikan rambu-rambu hukum. Main terabas!

Jika kita simak bunyi Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yakni “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Jika hanya membaca ketentuan ini maka Presiden bisa melakukan apa saja. Presiden seperti raja. Ucapan presiden adalah hukum.

Kami menilai dari segi positifnya saja. Mungkin orang-orang di lingkaran presiden-lah yang ingin menjerumuskan presiden menjadi sosok penguasa tunggal. Presiden dalam hal ini mengikuti saja karena sedang kalut memikirkan kondisi negara yang makin genting.

Presiden mungkin lupa bahwa Indonesia menganut pemisahan kekuasaan. Ada kekuasaan eksekutif, ada kekuasaan legislatif dan ada kekuasaan yudikatif. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh DPR dan kekuasaan yudikatif oleh MA/MK.

Dalam membuat Perpres 54/2020 mestinya jangan hanya membaca Pasal 4 ayat 1 UUD 1945. Tapi baca juga Pasal 20a ayat 1 dan Pasal 23 ayat 1 UUD 1945.

Pasal 20a ayat 1 berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.” Sementara Pasal 23 ayat 1 berbunyi “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Jelas sekali menurut aturan main konstitusi, bahwa yang berkaitan dengan APBN harus melibatkan DPR. Pasal 20a ayat 1 menyatakan DPR memiliki fungsi anggaran. Fungsi tersebut diperkuat dengan Pasal 23. 

Jadi, Pasal 4 UUD 1945 tidak tepat dijadikan dasar hukum membuat Perpres 54/2020. Jika itu dipaksakan, Pemerintah juga bisa dianggap melakukan pengebirian terhadap hak konstitusional DPR terkait penganggaran.

Jika kita cermati dasar hukum yang kedua yakni Perppu 1/2020. Menurut kami sangat berlebihan jika hanya selevel Perppu sudah dijadikan dasar hukum merubah postur APBN. Perppu masih harus meminta persetujuan DPR. Jika DPR menolak, maka Perppu akan batal dengan sendirinya. Jika Perppu batal maka Perpres juga batal. Maka segala yang sudah diputuskan dan dilaksanakan oleh pemerintah akan kehilangan pijakan hukum.

Dalam membuat Perpres 54/2020 mestinya jangan hanya membaca Pasal 4 ayat 1 UUD 1945. Tapi baca juga Pasal 20a ayat 1 dan Pasal 23 ayat 1 UUD 1945.

Solusinya, jika Pemerintah ingin merubah APBN sangat mudah saja tinggal ajukan ke DPR untuk perubahan APBN. Kemudian nanti DPR bersama Pemerintah akan membahas revisi UU 20 tahun 2019 tentang APBN tahun Anggaran 2020. Sangat mudah, tidak melanggar konstitusi dan akan menjadi pijakan yang sangat kuat bagi pemerintah untuk melakukan upaya penanggulangan covid-19.

Itulah wujud Demokrasi. Jangan cuma mau nikmatnya Demokrasi tapi menolak beban yang mesti ditanggung di dalamnya.

(***)

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close