EdukasiFakta DuniaInfo Sains

Mitos: Corona Tak Kuat Panasnya Cuaca

BIMATA.ID, JakartaBila matahari sudah menghangat di pagi hari, sejumlah warga keluar dari pintu rumahnya untuk berjemur barang sejenak. Pemandangan seperti ini semakin lazim terlihat di era pandemi COVID-19 akhir-akhir ini. Aktivitas ini memang menyehatkan, sama menyehatkannya dengan rajin olahraga, gosok gigi, atau mengonsumsi makanan bergizi, namun bukan berarti bisa membunuh virus Corona.

Panasnya cuaca bisa membunuh Corona adalah mitos di era pagebluk ini. Begitulah kesimpulan sementara dari berdasarkan kajian sains. Sains maju karena perubahan tanpa henti, melalui falsifikasi satu ke falsifikasi lainnya. Bukan tidak mungkin kebenaran sains hari ini bisa berubah lagi di hari berikutnya. Namun setidaknya, kesimpulan bahwa virus Corona tidak bisa mati oleh panas sinar matahari disampaikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

“Menjemur diri Anda di bawah matahari atau suhu yang lebih tinggi dari 25 derajat Celcius tidak mencegah penyakit akibat virus Corona (COVID-19),” demikian tertulis dalam ‘Mythbusters’ situs resmi WHO, sebagaimana diberitakan kembali oleh detikcom, Jumat (3/4)

Dijelaskan WHO, COVID-19 bisa menjangkiti diri Anda tanpa peduli seterik apapun dan sepanas apapun cuacanya. Negara-negara dengan cuaca panas telah melaporkan kasus COVID-19. Maka untuk melindungi diri Anda dari COVID-19, pastikan bahwa tangan Anda bersih dengan cara sering mencucinya, hindari pula menyentuh mata, mulut, dan hidung.

“Dari bukti sejauh ini, COVID-19 dapat menyebar di semua wilayah, termasuk wilayah dengan cuaca panas dan lembab. Terlepas dari iklim, terapkanlah langkah perlindungan di tempat Anda tinggal atau di tempat yang dilaporkan terjadi COVID-19. Cara terbaik untuk melindungi diri Anda dari COVID-19 adalah dengan membersihkan tangan Anda secara sering,” kata WHO.

Paparan sinar ultraviolet dari lampu UV juga tidak bisa mensterilkan tangan atau kulit Anda. Malahan, paparan lampu UV bisa membuat iritasi kulit. Mandi air hangat juga tidak mencegah penularan COVID-19. Bagaimanapun suhu air yang digunakan untuk mandi, suhu tubuh manusia normal bakal tetap berkisar antara 36,5 derajat Celcius hingga 37 derajat Celcius. Mandi dengan air yang sangat panas bisa melukai tubuh dan membakar.

Namun, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sempat menyatakan optimismenya pada 11 Februari 2020, saat itu jumlah kematian akibat virus Corona di AS belum sebanyak sekarang, COVID-19 juga belum ditetapkan WHO sebagai pandemi global. Saat itu, Trump yakin penyakit akibat SARS-CoV-2 itu bakal lenyap oleh panas di bulan April.

“Virus… biasanya akan hilang di April,” kata Trump seperti dikutip dari AFP, Selasa (11/2/2020).

“Panas, secara umum, membunuh virus semacam ini,” dia menambahkan.

WHO: Jangan beri harapan palsu

Direktur Eksekutif program kedaruratan kesehatan WHO, Mike Ryan, menghimbau semua pihak untuk tidak memberi harapan palsu soal COVID-19. Soalnya, belum ada hasil penelitian yang pasti soal virus jenis baru ini.

“Kita harus berasumsi bahwa virus ini akan bisa berlanjut menyebar,” kata Mike Ryan di Jenewa, Swiss, 6 Maret 2020 lalu, dilansir CNBC.

Dia sedang menanggapi pejabat AS yang mengatakan bahwa wabah COVID-19 diprediksi sama seperti virus musiman dan bakal melemah dalam kondisi yang lebih hangat.

“Adalah harapan palsu bila kita mengatakan, ‘Ya, virus itu akan lenyap seperti flu’. Kami berharap demikian. Itu akan menjadi anugerah Tuhan. Tapi kita tidak bisa membuat asumsi seperti itu, dan tidak ada buktinya,” Ryan.

Hingga hari ini, belum ada yang berani menyimpulkan bahwa ‘COVID-19 bakal mati bila kena panas mentari dan cuaca lembab’ atau ‘COVID-19 tidak akan mati oleh panas mentari dan cuaca lembab’. Sains memang tidak bisa di simplifikasi se hitam-putih hoax dan bukan hoax. Sejauh ini, kesimpulan yang paling berani adalah kesimpulan dari WHO, yang menyatakan bahwa ‘COVID-19 tidak bisa menular di iklim panas dan lembap’ adalah mitos.

A World Health Organisation (WHO) logo is displayed at their office in Beijing on April 19, 2013. China has confirmed a total of 82 human cases of H7N9 avian influenza since announcing about two weeks ago that it had found the strain in people for the first time. AFP PHOTO / Ed Jones (Photo by Ed JONES / AFP) (Photo credit should read ED JONES/AFP via Getty Images)

Penelitian lain

Sebenarnya, ada pula yang mengatakan virus ini bakal lenyap dalam kondisi panas dan lembab. Dilansir South China Morning Post, 8 Maret, studi dari Universitas Sun Yat-sen di Guangzhou mengatakan suhu udara (temperatur) bisa mengubah penularan COVID-19 secara signifikan.

“COVID-19 gagal menyebar secara signifikan ke negara-negara tetangga di sebelah selatan China… Jumlah pasien dan kematian yang dilaporkan di Asia Tenggara jauh lebih sedikit ketimbang yang dilaporkan di kawasan sedang,” demikian kata penelitian itu, dilansir Accu Weather.Penelitian itu dipublikasikan pada Februari, saat itu memang kasus COVID-19 yang terkonfirmasi di Indonesia membang belum ada. Penelitian itu juga saat itu belum mendapat ulasan sejawat (peer-review) komunitas ilmuwan.

Epidemiologist dari Harverd’s TH Chan School of Public Health, yakni Marc Lipsitch, mengatakan mungkin saja tingkat kelembaban mempengaruhi tingkat penularan COVID-19. Namun demikian, perkiraan

Di Indonesia

Di Indonesia, isu virus Corona vs panas sinar matahari ramai lagi belakangan ini. Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menjadi pembuka keriuhan. Tentu saja keriuhan ini harus berujung pencerahan.

Berdasarkan pemodelan mengenai penyebaran COVID-19, Luhut mengatakan virus Corona tak akan kuat berada di iklim panas dan lembab. Dia berbicara soal ini dalam rapat koordinasi yang disiarkan lewat akun YouTube Sekretariat Presiden, pada Kamis (2/4) kemarin. Luhut mengatakan virus SARS-CoV-2 tidak akan tahan panas dan lembab.

“Dari hasil modelling kita yang ada, cuaca Indonesia, ekuator ini yang panas dan juga humidity (kelembaban) tinggi itu untuk COVID-19 ini nggak kuat,” ujar Luhut.

Pada Rabu (17/3) lalu, Mendagri Tito Karnavian juga berbicara mengenai tema virus Corona vs panas sinar matahari. Dia menghimbau masyarakat tidak perlu panik menghadapi pandemi ini. Penularan COVID-19 bisa dicegah, antara lain dengan sinar ultraviolet dari sinar matahari.

Trump, Luhut, dan Tito sama-sama pernah berbicara Corona vs panas sinar matahari. (Repro detikcom)

“Ini bisa diatasi dengan mencegah penularan dan memperkuat daya tahan tubuh, dengan olahraga, terpapar sinar ultraviolet juga bagus, sinar matahari. Kemudian memperkuat daya tahan tubuh dengan makan makanan yang sehat, cuci tangan, memakai hand sanitizer,” tutur Tito dalam jumpa pers usai rapat dengan Gubernur Anies Baswedan di Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, kala itu.

Kominfo

Sebelum Luhut dan Tito bicara soal Corona vs panas sinar matahari, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sudah merilis keterangan mengenai hal itu. Kominfo memberi cap informasi yang menyatakan virus Corona bisa mati karena terpapar sinar matahari sebagai disinformasi.

“[DISINFORMASI] Virus Corona bisa Mati karena Terkena Sinar Matahari,” demikian tulis Kemenkominfo dalam situs resminya, tertanggal 4 Maret 2020.

Kominfo soal disinformasi bahwa Corona mati lawan sinar matahari. (Dok Kemenkominfo)

Informasi yang dicap Kominfo sebagai disinformasi adalah informasi berantai yang beredar lewat WhatsApp. Informasi itu menyebut virus Corona bisa mati pada suhu 26-27 derajat, virus itu akan hilang sepenuhnya saat terkena sinar matahari.

Disinformasi adalah kabar salah, pembuat serta penyebarnya mengetahui bahwa informasi itu salah. Produksi dan penyebaran informasi salah ini dilakukan dengan sengaja untuk tujuan politik atau komersial. Begitulah definisi disinformasi yang dituliskan Kuskridho Ambardi dalam ‘Jurnalisme, Berita Palsu, dan Disinformasi: Konteks Indonesia’.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut hingga saat ini belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan virus Corona tidak akan bertahan lama di cuaca panas, seperti Indonesia. Teori-teori tanpa bukti tersebut sudah pernah terpatahkan.

“Jadi teori-teori seperti itu sudah terpatahkan pada saat kita bicara dulu tidak ada Corona di Indonesia, tapi ternyata akhirnya ada. Ya karena waktu itu ada juga yang mengatakan seperti itu. Buktinya Thailand juga walaupun dengan iklim yang sama dengan Indonesia, Thailand juga sudah ada duluan kan,” ujar Waketum IDI Adib Khumaidi saat dihubungi, Kamis (2/4).

Sumber: detik

Tags

Related Articles

Bimata
Close