Ironis, Kita Sedang Krisis Kesehatan Tapi Porsi Terbesar Dana Penanggulangan Covid 19 Justru Untuk Memberi Insentif Pengusaha
Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Kamis, 2 April 2020
BIMATA.ID, JAKARTA — Setelah satu bulan berlalu sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan, Selasa, 31 Maret 2020, Pemerintah akhirnya memberi respon lebih serius terhadap penanganan wabah dengan mengeluarkan tiga kebijakan sekaligus, yaitu (1) Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, (2) Keputusan Presiden (Keppres) No. 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, dan (3) Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Melalui kebijakan yang dirilis dua hari lalu, Pemerintah tak jadi menetapkan status darurat sipil sebagaimana diwacanakan Presiden sehari sebelumnya. Status karantina wilayah yang sempat diwacanakan Menko Polhukam, juga tak diberlakukan. Sebagai gantinya, melalui Keppres No. 11/2020, Presiden akhirnya memilih status “Pembatasan Sosial Berskala Besar”, atau PSBB, untuk mengatasi penyebaran pandemi Covid-19.
Terkait soal Keppres, pertama, saya mengapresiasi poin pembatalan status darurat sipil. Artinya, Pemerintah masih mendengarkan kritik yang disampaikan masyarakat. Darurat sipil jelas bukan resep melawan Covid-19 dan pasti akan ditolak banyak kalangan.
Selain itu, meski baru rekomendasi sudah tepat Surat Edaran BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek) mengenai pembatasan penggunaan moda transportasi, baik transportasi publik maupun kendaraan pribadi, yang berlaku untuk moda transportasi kereta api, kereta rel listrik, serta bus, baik di jalan tol maupun di jalan arteri nasional, selama masa pandemik Covid-19. Meski secara verbal Pemerintah pusat menolak istilah ‘lockdown’, serta menolak proposal penutupan akses transportasi ke ibukota yang diajukan oleh Gubernur DKI Jakarta, namun dalam praktiknya saya kira pembatasan itu pada akhirnya tak terhindarkan.
Namun, ini yang kedua, berubah-ubahnya sikap dan wacana yang dilemparkan Pemerintah untuk mengatasi wabah Covid-19, sangat kentara sekali menunjukkan lemahnya komitmen dan inisiatif Pemerintah. Contohnya, semula mereka menolak tuntutan ‘lockdown’, namun minggu lalu mereka membuka opsi karantina wilayah, yang secara substantif sebenarnya tak berbeda. Belum seminggu wacana karantina wilayah dilempar, Presiden kemudian membuka opsi baru lagi, berupa darurat sipil.
Tapi belum sehari wacana tersebut digelar, muncul barang baru, yaitu status PSBB yang kemarin akhirnya dieksekusi. Kita sama-sama bisa melihat betapa kacaunya proses pengambilan keputusan di dapur Istana. Siapakah “koki” pengambilan keputusan di dapur Istana? Terlihat pemerintah gamang dan amatiran. Menteri Kesehatan juga tak kelihatan lagi di depan publik. Apa yang terjadi?
Meskipun opsi penanganan wabah Covid-19 berubah-ubah, namun saya melihat posisi Pemerintah sebenarnya tak bergeser. Seperti saya sampaikan beberapa hari lalu, mereka hanya sedang berusaha mengelak dari tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat selama periode karantina. Itu saja. Semua akrobat wacana yang disampaikan, intinya hanya itu. Sebab, kalau kita baca UU No. 6/2018 tentang Karantina Kesehatan, dengan status “Pembatasan Sosial Berskala Besar”, maka kewajiban Pemerintah untuk menyediakan kebutuhan hidup masyarakat memang jadi gugur. Padahal masyarakat, khususnya yang kurang beruntung, sangat memerlukan insentif serta bantuan logistik dan bantuan tunai. Negara-negara lain yang kapitalis sekalipun juga melakukannya.
Yang menarik, selain menerbitkan PP No. 21/2020, sebagai turunan UU No. 6/2018; serta Keppres No. 21/2020, sebagai sikap resmi Pemerintah atas kondisi darurat kesehatan yang tengah berlangsung; Pemerintah juga menyelipkan Perppu No. 1/2020. Saya kira Perppu ini harus dilihat secara hati-hati dan kritis, jangan sampai ada yang menunggangkan kepentingannya di belakang krisis yang tengah berlangsung.
Setidaknya ada beberapa masalah awal yang saya catat. Pertama, dalam Pasal 27 Perppu No. 1/2020 disebutkan jika segala tindakan serta keputusan yang diambil berdasarkan Perppu tersebut tak boleh dianggap sebagai kerugian negara, sehingga para pejabat yang terlibat di dalamnya tak bisa digugat, baik secara perdata, secara pidana, maupun melalui peradilan tata usaha negara. Menurut saya, klausul ini sangat tak lazim, bahkan di tengah situasi krisis sekalipun.
Adanya klausul tersebut justru memunculkan kecurigaan: memangnya Pemerintah mau ngapain dengan Perppu ini?
Kedua, dari tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sebesar Rp405,1 triliun untuk penanganan dampak Covid-19, ada empat poin yang diajukan pemerintah, yaitu (1) kesehatan, (2) social safety net, (3) insentif perpajakan, dan (4) program pemulihan ekonomi nasional. Dari empat poin itu, kalau kita baca penjabarannya, insentif perpajakan dan program pemulihan ekonomi nasional besarannya mencapai Rp220,1 triliun, atau sekitar 54,3 persen dari total tambahan belanja tadi.
Lho, ini kan ini kondisi darurat kesehatan, tapi kenapa belanja terbesarnya justru dialokasikan sebagai insentif ekonomi bagi para pengusaha?!
Ketiga, saya baca ternyata draf Omnibus Law Perpajakan telah dimasukkan ke dalam Perppu, di mana korporasi akan dapat potongan PPh badan dari semula 25 persen menjadi 20 persen untuk tahun 2020 dan 2021, serta menjadi 20 persen di tahun 2022. Menurut saya, secara etika ketatanegaraan ini agak bermasalah. Melalui Omnibus Law perpajakan Pemerintah ingin memotong ketentuan sejumlah undang-undang. Belum lagi Omnibus Law ini dibahas, ketentuannya sudah akan digunting oleh Perppu Corona.
Secara prinsip saya setuju dunia usaha perlu diberi insentif di tengah krisis. Namun, kita melihat Perppu ini, misalnya, tidak melakukan apapun bagi wajib pajak kaya perorangan. Padahal, ini adalah waktunya Pemerintah menggalang solidaritas golongan superkaya di Indonesia. Jangan hanya orang-orang miskin dan menengah ke bawah saja yang diharapkan solidaritasnya.
Dan keempat, sebelum Perppu ini lahir, saya membaca Pemerintah akan memberi kucuran uang langsung ke perusahaan lewat penerbitan surat utang yang akan dibeli oleh Bank Indonesia. Frame-nya adalah penerbitan surat utang pemulihan, atau ‘recovery bonds’, bagi dunia usaha terdampak Covid-19.
Dana dari penerbitan surat utang ini rencananya akan disalurkan kepada dunia usaha melalui pemberian kredit khusus dengan bunga ringan. Bagi pengusaha yang ingin mendapatkan kredit khusus ini, ada syarat yang ditetapkan Pemerintah. Syaratnya adalah tidak boleh ada PHK. Kalau pun ada karyawannya yang harus kena PHK, maka perusahaan harus mempertahankan 90% karyawannya dengan gaji tidak berkurang dari sebelumnya.
Menurut saya, itu skema kredit yang naif. Kalau kita lihat, itu kan tak ada bedanya seperti pemberian BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) pada saat krisis 1998 dulu. Alih-alih berputar menggerakkan roda perekonomian dalam negeri, duit kredit justru potensial dilarikan ke luar negeri seperti zaman dulu. Jadi, skema ‘recovery bonds’ itu saya kira harus ditolak. Harus ada jaminan bahwa insentif itu untuk kepentingan perusahaan dan tenaga kerja dalam negeri.
Dari empat poin tambahan belanja dan pembiayaan yang totalnya Rp405,1 triliun tadi, saya melihat poin terakhir mengenai pembiayaan dalam rangka mendukung program pemulihan ekonomi nasional yang nilainya mencapai Rp150 triliun perlu betul-betul diawasi. Sebab, dari bahan paparan Menteri Keuangan yang saya pegang, hanya poin itu yang tak ada penjelasannya, padahal porsinya mencapai 37 persen.
Kembali ke soal tanggap darurat wabah Covid-19, prioritas Pemerintah mestinya menyelamatkan masyarakat, baru kemudian perekonomian. Dengan dalih resesi global akibat perang dagang, para pengusaha-kroni kemarin telah berhasil mendiktekan kepentingannya dalam draf Omnibus Law Cipta Kerja. Jangan sampai krisis akibat wabah ini kemudian ditunggangi juga untuk menyelamatkan kepentingan ekonomi mereka, bukan untuk menyelamatkan rakyat banyak.
Untuk menyelamatkan rakyat, saya kira yang harus dilakukan Pemerintah adalah segera tarik Omnibus Law Cipta Kerja, batalkan agenda pemindahan ibukota, termasuk proyek-proyek infrastruktur yang tak masuk akal lainnya. Gunakan anggarannya untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi rakyat. Sebab, di dalam Perppu itu saya membaca bukannya memotong anggaran infrastruktur dan pemindahan ibukota, Pemerintah malah memotong dana abadi pendidikan. Ini kan tidak benar.
Sekali lagi, ada hal-hal yang bisa kita apresiasi dari rilis kebijakan Pemerintah kemarin, namun banyak juga yang harus dikritisi. Yang jelas, dari sejumlah kebijakan positif itu, seperti pemotongan tagihan listrik, atau penundaan tagihan kredit, misalnya, Pemerintah harus segera memastikan kalau kebijakan-kebijakan tersebut bisa langsung diklaim oleh masyarakat. Jeda antara pernyataan Pemerintah dengan eksekusinya di lapangan tak boleh lama. Ingat kasus bantuan dana untuk rakyat terkena bencana di Lombok, realisasinya sangat berantakan. Kita tak ingin apa yang disampaikan Presiden berlainan dengan kenyataan di lapangan.
Selain itu, terkait dengan pembatasan akses transportasi, Pemerintah harus memastikan kebijakan itu tak akan mengganggu distribusi logistik dan kebutuhan pokok masyarakat. Jangan sampai timbul kelangkaan yang akan memberatkan masyarakat.