Opini

70% Taman Bacaan di Indonesia Berpotensi Bangkrut

Oleh: Syarifudin Yunus (Pegiat Literasi TBM Lentera Pustaka)

BIMATA.ID, Opini- Survei Tata Kelola Taman Bacaan di Indonesia yang dilakukan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka pada tahun 2019 lalu menyebutkan bahwa 70% taman bacaan di Indonesia hanya bisa memenuhi seperempat atau di bawah 25% dari kebutuhan operasionalnya. Itu berarti, 7 dari 10 taman bacaan mengalami “ketidakcukupan” biaya operasional yang sangat parah. Sementara lainnya, ada 18% taman bacaan yang hanya mampu penuhi biaya antara 26%-50%, ada 8% taman bacaan mampu penuhi biaya antara 51%-75%, dan hanya 4% taman bacaan yang mampu memenuhi 75%-100% kebutuhan biaya operasionalnya per bulan.

Maka dapat disimpulkan, 88% taman bacaan di Indonesia memiliki tingkat persentase kecukupan dana berbanding kebutuhan biasa operasional masih di bawah 50% atau di bahwa setengahnya. Taman bacaan yang berpotensi bangkrut atau tidak mampu beroperasi. Tentu, realitas ini sangat bertolak belakangan dengan kebijakan “Gerakan Literasi Nasional (GLN)” sebagai bagian dari implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti untuk mengembangkan literasi dasar masyarakat yang mencakup, yaitu literasi baca-tulis, numerasi, sains, finansial, digital, dan budaya & kewargaan.

Survei Tata Kelola Taman Bacaan di Indonesia yang dilakukan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka ini diikuti oleh 54 pegiat literasi dari 33 lokasi di Indonesia, seperti dari Bogor — Sukoharjo- Banyuwangi- Sumba Tengah — Jambi — Purwokerto – Nias Selatan – Buru Selatan – Sorong Selatan – Kab. Gowa — Asahan – Padang Panjang — Rappang — Cirebon – Seram – Mamuju Tengah – Tapanuli Utara — Matawae – Landak – Manggarai Barat — Grobogan — Wonogiri – Buton Tengah – Kota Baru — Boyolali – Aceh Barat – Probolinggo — Purworejo — Malang – Semarang – Lampung Timur — Tanggamus – Jeneponto – Sumba Barat.

Oleh karena itu, mau tidak mau, harusnya pemerintah perlu memberikan penguatan pada Gerakan Literasi Masyarakat yang notabene digawangi oleh taman bacaan yang ada di Indonesia. Tidak cukupnya dana operasional taman bacaan pun menjadi bukti prinsip gerakan literasi nasional yang terdiri dari: 1) berkesinambungan, 2) terintegrasi, dan 3) melibatkan semua pemangku kepentingan masih sebatas angan-angan.

Lalu, siapa yang harus terlibat dalam pendanaan taman bacaan?
Selain pemerintah pusat dan korporasi, Pedoman Gerakan Literasi Nasional telah menyatakan peran para pihak yang perlu terlibat, yaitu:
1. Pemerintah Daerah, berperan dalam hal: a) Memberikan keteladanan berliterasi kepada seluruh warga daerah; b) Membuat dan mengembangkan peraturan, kebijakan GLN di daerah; c) Melaksanakan sosialisasi peraturan dan kebijakan GLN di daerah; d) Mengembangkan materi GLN pada setiap ranah yang disesuaikan dengan karakteristik daerah, seperti mempertimbangkan aspek sosial, budaya, mata pencaharian, lingkungan geografis, dll.; e) Membangun sarana dan prasarana penunjang GLN di daerah; f) Menyediakan bahan bacaan yang bermutu pada satuan pendidikan, fasilitas publik, dan perpustakaan masyarakat; g) Melakukan sinergi dan implementasi GLN dengan para pemangku kepentingan di daerah; h) Memberikan dukungan dalam pendampingan pelaksanaan GLN pada ranah sekolah, keluarga, dan masyarakat; serta i) Melakukan penilaian dan evaluasi terhadap implementasi GLN di daerah.
2. Kelurahan/Desa, berperan dalam hal: a) Memberikan keteladanan berliterasi kepada seluruh warga desa; b) Membuat dan mengembangkan peraturan dan kebijakan GLN di desa; c) Membangun sarana dan prasarana penunjang GLN di desa; d) Melakukan sinergi dan implementasi GLN dengan satuan pendidikan, komunitas literasi serta tokoh msyarakat; dan e) Mengalokasikan dana desa untuk mengembangkan GLN di desa sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Minimnya dana operasional untuk menjalankan aktivitas taman bacaan, sungguh sangat menyulitkan taman bacaan dalam menjalankan perannya untuk membangun tradisi baca dan budaya literasi masyarakat. Jangankan untuk membeli buku baru sebagai koleksi taman bacaan, untuk memenuhi operasional bulanan saja tidak mencukupi. Sementara itu, para pegiat literasi atau pengelola taman bacaan sudah mendedikasikan tenaga, pikiran, dan waktu untuk gerakan literasi di masyarakat. Maka apa boleh buat, sangat mungkin taman bacaan “bangkrut” akibat tidak adanya dana yang cukup untuk menjalankan kegiatan membaca di masyarakat.

Oleh karena itu, kini saaatnya seluruh pihak dan para pemangku kepentingan untuk mulai memperhatikan dan peduli terhadap kegiatan taman bacaan di manapun berada. Demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi anak-anak dan masyarakat Indonesia. Intinya, pihak pemerintah daerah atau donatur perlu ikut peduli terhadap “kebertahanan” eksistensi taman bacaan di Indonesia, khususnya dalam membantu penyediaan dana operasional bulanan.

Bila taman bacaan penting, maka siapa yang harus membantunya?
Kalau bukan kita siapa lagi, kalau tidak sekarang mau kapan lagi. Tentu, demi masa depan anak-anak Indonesia. Salam Literasi!

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close