Bimata

Tantangan Baru Emiten Sektor Properti

BIMATA.ID, Jakarta– Saham emiten properti di tahun 2020 diprediksi akan memiliki pertumbuhan yang lebih baik ketimbang tahun sebelumnya.

Analis Sucor Sekuritas Joey Faustian mengatakan, Pemilu 2019 memiliki pengaruh yang besar terhadap penjualan properti. Rencana peluncuran produk yang sebelumnya telah dijadwalkan terpaksa harus ditunda hingga pertengahan tahun akibat Pemilu 2019.

Penundaan itu berujung pada menurunnya daya konsumsi masyarakat terhadap properti. “Waktu penjualan di tahun 2019 yang relatif lebih sempit membuat penjualan tidak maksimal,” kata Joey.

Joey mengatakan bahwa prospek saham emiten sektor properti di tahun 2020 akan lebih baik. Penurunan suku bunga acuan dari 5% menjadi 4,75% berpotensi memicu bank-bank untuk menurunkan bunga KPR. Bunga KPR yang lebih murah dapat mendongkrak pembelian properti. Secara fundamental, perusahaan properti memiliki kondisi yang relatif baik. Tingkat utang yang tidak terlalu tinggi menjadi salah satu alasannya.

Sementara, Analis Sinarmas Sekuritas Richardson Raymond mengatakan, penyebaran virus corona menjadi tantangan bagi sektor properti. Mewabahnya virus corona di berbagai negara membuat kondisi perekonomian global terhambat, termasuk Indonesia. Bank Indonesia telah menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi di tahun 2020 yang awalnya berada di level 5,1%– 5,5% menjadi 5,0%– 5,4%.

Wabah virus corona juga berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah. “Perlambatan ekonomi akan turut berdampak pada permintaan properti,” kata Richardson.

PSAK 72 merupakan pengganti dari PSAK 23 dan 34. PSAK 72 mengatur terkait pengakuan pendapatan dari kontrak dengan pelanggan. Imbas dari berlakunya aturan tersebut, pengembang properti kini tidak akan mendapat pendapatan sebelum terjadinya serah terima. Sebelumnya, pengembang properti masih bisa mencatat pendapatan meski proses serah terima belum dilakukan.

Joey mengatakan, berlakunya PSAK 72 itu sangat berdampak pada developer yang bermain pada high-rise project. Sementara, developer yang mempunyai fokus pada landed-house tidak akan merasakan dampak dari PSAK 72.

Richardson melihat adanya PSAK 72 akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan pendapatan para pengembang properti. Bagi developer yang fokusnya bermain pada high-rise project, maka pertumbuhan revenuenya akan memakan waktu yang lebih lama. “Tentu akan mengalami slowing growth revenue,” kata Richardson.

Analis Kresna Sekuritas Robertus Hardy, Etta Rusdiana, dan Eriza Putri dalam riset mencatat untuk menstabilkan pertumbuhan pendapatan dengan cara meningkatkan jumlah produk landed-house yang membutuhkan 8–12 bulan dari sebelum penjualan hingga serah terima. Selain PSAK 72 yang sudah berlaku, tantangan sektor properti juga dibayangi oleh perkembangan omnibus law. Omnibus law merupakan upaya pemerintah untuk menarik investor ke Indonesia. Salah satu poin yang dibahas dan berkaitan dengan sektor properti adalah mengenai penyederhanaan izin. Kresna Sekuritas merekomendasikan netral untuk sektor properti.

Richardson menilai bila omnibus law terutama aturan mengenai penyederhanaan izin benar-benar berlaku, pengaruhnya hanya pada sisi supply. Adanya penyederhanaan izin tidak memiliki korelasi yang positif terhadap permintaan. Dengan adanya omnibus law, developer dapat memangkas waktu dari proses pembangunan hingga penyerahan sehingga lebih cepat. “Waktu dan cost perizinan dapat diturunkan, tapi kalau dari permintaan tidak akan berpengaruh,” kata Richardson.

Melihat kondisi itu, Joey melihat prospek saham emiten properti akan banyak didominasi oleh produk end-user. Mengingat, dalam dua hingga tahun ke belakang, landed-house mendominasi penjualan. Landed-house merupakan pilihan yang cenderung diambil oleh masyarakat Indonesia karena kebiasaan untuk tinggal di apartemen belum terbentuk.

PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) dan PT Ciputra Development Tbk (CTRA) adalah emiten dengan fokus produk end-user. Meski begitu, SMRA dan CTRA juga telah menyesuaikan dengan kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia. Selain itu, keduanya memiliki exposure terhadap landed-house yang cukup besar, yaitu kurang lebih 75%. Ditambah lagi, pendapatan kedua emiten tidak berubah walau PSAK 72 telah berlaku.

Richardson merekomendasikan emiten PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) dan SMRA. Faktor performa penjualan yang masih sesuai dengan jalur menjadi penyebabnya. Belum lagi, fokus keduanya di tahun 2020 akan banyak merilis produk perumahan untuk segmen end-user.

sedangkan, Joey merekomendasikan buy saham emiten SMRA dan CTRA dengan target harga masing-masing Rp 1.400 per saham. Sedang, Richardson merekomendasikan buy saham BSDE dengan target harga Rp 1.500 dan SMRA dengan target harga Rp 1.300 per saham.

Jumat (28/2), harga saham SMRA ditutup turun 1,75% ke Rp 840 per saham. Harga saham BSDE tergerus 2,91% ke Rp 1.000 per saham. Sedangkan harga saham CTRA naik 2,16% ke Rp 945 per saham.

Sumber: investasi[dot]kontan[dot]co[dot]id
Editor: Z.B.Permadi

Exit mobile version