Properti

Properti Pola Hunian Harus Direncanakan Pengembang

Pesatnya perkembangan dunia digital yang ditopang dengan perkembangan jaringan dunia maya (internet) sangat luar biasa telah mengubah lifestyle hingga perubahan pola konsumen bisnis properti pada umumnya. Khusus di Indonesia dengan perkembangan populasi dari kalangan generasi muda milenial, perubahan karakteristik konsumennya sangat terasa di sektor properti.

Menurut Soelaeman Soemawinata (Eman), mantan Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI), era perkembangan teknologi telah mengubah lansekap pasar maupun perekonomian termasuk sektor properti. Generasi milenial yang menjadi pasar utama harus disiasati dengan cara-cara yang lebih khusus terkait karakteristik maupun selera kalangan ini yang mementingkan kepraktisan, efisiensi, dan dinamis.

“Termasuk pola hunian yang berubah sehingga ini harus direspon oleh kalangan pengembang dengan tidak lagi mengeluarkan produk yang biasa tapi harus disesuaikan. Nantinya jangan-jangan untuk kalangan ini cukup ditawarkan hunian sewa ketimbang perumahan biasa,” katanya.

Semuanya bisa terjadi karena pasar yang berubah dan pengembang harus mulai memikirkan hunian untuk kalangan milenial ini bukan lagi perumahan biasa. Milenial yang serba simpel tidak bisa dituntut untuk melakukan maintenance pada huniannya karena lifestyle-nya berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya.

“Ke depan yang ditawarkan oleh pengembang bisa jadi hunian-hunian seperti kos-kosan atau co-living. Milenial tidak mau dipusingkan dengan perawatan rumah sehari-hari maupun pembayaran pajak-pajak rutinnya, jadi ke depan kalangan pengembang juga harus menyiapkan produk-produk yang dibutuhkan oleh kalangan ini,” imbuhnya.

Kita juga bisa belajar dari kota-kota yang sudah lebih berkembang dan maju di Australia. Menurut Doddy Tjahjadi, CEO Crown Group Indonesia, pengembang dari Australia yang banyak memasarkan produknya di Indonesia, di Sydney yang merupakan kota bisnis dan terpadat di Australia, tingkat kepemilikan huniannya hanya 40 persen. Artinya, sebanyak 60 persen masyarakatnya lebih memilih untuk menyewa.

“Di Jepang tingkat kepemilikan properti atau rumahnya lebih rendah lagi. Sementara di Indonesia, terlepas dari masih banyaknya orang yang belum memiliki properti, tingkat kepemilikan dibanding yang menyewa jauh lebih tinggi yang memiliki. Karena itu di kawasan perkotaan sebaiknya yang lebih diutamakan itu hunian untuk disewa yang lebih cocok dengan lifestyle anak muda milenial,” bebernya.

Hal ini juga terkait dengan daya beli atau kemampuan seseorang untuk mengakses perumahannya. Di Sydney, jelas Dody, hanya orang atau pasangan yang berpenghasilan di atas Rp1 miliar/tahun yang bisa mengakses perumahan. Kalau dia memiliki anak maka penghasilannya harus lebih besar lagi dari angka itu.

“Makanya di Sydney kalau penghasilannya lebih rendah dari itu pilihannya hanya menyewa dari swasta atau menggunakan fasilitas social housing yang disediakan oleh pemerintah dengan harga yang lebih murah. Pola-pola seperti ini akan menjadi tren di kota-kota besar seperti Jakarta,” tambahnya.

 

Sumber :rumah[dot]com
Editor :ZBP

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close