BIMATAnews.com, Jakarta — Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo baru-baru ini mengunjungi Pulau Lombok, NTB. Di sana, dia takjub dengan usaha pembesaran benih lobster. Sehingga pemerintah berniat akan mempelajari lebih dalam mengenai budidaya lobster.
Optimisme pemerintah ternyata tidak diiringi dengan nelayan lobster. Menurut Ketua Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI) Rusdianto Samawa, budidaya benih lobster itu sulit.
“Budidaya lobster itu sangat berat sekali. Tak mungkin pemerintah bisa mencapai swasembada lobster dan menyaingi Vietnam dalam 5 tahun ini. Selain itu harus pahami teori Sink Population.
Fakta seperti inilah yang harus disampaikan kepada publik agar publik paham bahwa yang disebarluaskan oleh ibu mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti adalah hoax. Tidak 100 persen Benih Lobster (BL) akan menjadi 100 persen lobster dewasa. Sama seperti bohongnya tentang harga lobster Rp 4-5 juta/kg,” ungkap Rusdianto dalam keterangannya, Jumat (27/12).
Wacana budidaya lobster memang mencuta sebagai jalan tengah antar perdebatan pro ekspor benih lobster dengan kontra ekspor benih lobster. Rusdianto mengaku sering ditanya dengan netizen mengenai budidaya benih lobster.
“Satu bulan ini, banyak orang bertanya tentang lobster. Keingintahuannya sangat tinggi. Rata-rata dari mereka follower pendukung budidaya lobster dengan segala kontroversinya. Yang menarik, ada migrasi pembudidaya ikan laut yang merugi selama 5 tahun ini akibat kebijakan Mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti,” katanya.
Migrasi pembudidaya ini, sambung dia sekaligus berperan menolak ekspor benih lobster dengan segala alasan argumentasinya. “Bahkan, mereka tampil di berbagai media. Mereka juga masuk melalui struktur KKP dalam membangun wacana-wacana budidaya Lobster untuk meraih opini publik dan mendapat dukungan,” ungkapnya lagi.
Dia menyebut banyak pengamat dadakan muncul atas nama ekonomi nasional karena bersimpati terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Pengamat dadakan ini, muncul mengandalkan media-media darling sebagai follower yang selama ini dipakai oleh menteri sebelumnya.
“Semua mereka ini, tak ada yang muncul dalam perjuangan antitesa kebijakan Menteri KKP sebelumnya. Justru pejuang-pejuang yang relatif keras dan objektif selama 5 tahun ini tidak dipakai.
Banyak sekali pengamat perikanan terbuang waktunya untuk meluruskan informasi yang benar-benar fakta selama ini. Namun, kalah dengan pengamat dadakan yang ingin meraih simpati dan mengambil hati,” kata Rusdi.
Salah satu modal pengamat dadakan ini, menggaungkan budidaya lobster dan menolak ekspor benih lobster. Tentu mereka juga memiliki alasan dengan modal narasi investigasi ke sentra-sentra budidaya di Vietnam maupun di negara lainnya.
“Walaupun, mereka sangat mengetahui mahalnya cost budidaya lobster yang tinggi itu. Salah satu kontroversinya yakni hasil Focus Group Discussion (FGD) Hipilindo pada 19 Desember 2019 di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan menolak ekspor benih lobster,” sebutnya.
Rekomendasi paling krusial dalam Focus Group Discussion (FGD) Hipilindo pada 19 Desember 2019 itu, yakni besaran bibit lobster yang harus ditangkap margin Survival Rate (SR)-nya 30-40 persen. Rekomendasi ini membuat nelayan tangkap meradang.
Masalahnya, lanjut Rusdi, benih yang layak di ekspor itu margin Hatching Rate (HR) di alam lebih besar dari 95 persen. Kemudian, siklus Survival Rate (SR) dari menetas sampai pada Peurulus hanya 0,01 persen. Sementara dari Peurulus sampai pada ukuran matang reproduksi 1 persen. Sehingga SR dari telur sampai size matang 0,01 persen.
“Kalau margin SR sudah 30-40 persen, mestinya tidak ditangkap karena tingkat Survival Rate (SR)-nya sudah melewati masa kritis,” tegasnya.
Masih kata dia, alasan kuat melegalkan ekspor benih lobster daripada budidaya, yakni hitungan ekonomi dan keuntungan bagi devisa negara. Tetapi, hitungan Survival Rate (SR) lobster sudah banyak sekali referensi yang menjelaskan secara ilmiah. Survival Rate (SR) yang benar adalah 0,01-0,03 persen.
“Mestinya, tangkapan untuk budidaya yakni tingkat margin SR-nya 0,03 – 0,07 persen. Kalau ukuran 30-40 persen sudah masuk kategori induk lobster yang harus dilarang ditangkap. Dari SR-nya 0,03 – 0,07 persen yang ditangkap untuk budidaya itu bisa dilakukan restocking sebanyak 10 persen dari hasil budidaya. Tentu kategori syarat restocking pada ukuran margin SR-nya sudah 30–40 persen,” jelasnya.
Rusdi menilai rekomendasi krusial lainnya dalam FGD tersebut, yakni tidak menganalisis siklus mortalitas lobster, bahwa ukuran bibit 30-50 gram paling kritis. Ukukuran 30-50 gram ini mau diekspor oleh pembudidaya.
“Sungguh berat rancangan pembudidaya yang masuk pada jalan kerugian ke depannya. Mengapa? karena ukuran ini bertahan paling lama dan sangat rentan masa pemakaian gas yakni hanya hitungan 13-an jam,” tutur dia.
Apalagi, jarak Indonesia dengan beberapa negara tujuan ekspor dengan perjalanan rata-rata menempuh 15 jam hingga 30 jam. Sudah jelas cost cargo pesawat udara sangat tinggi. Begitu juga ekspor melalui kapal-kapal kargo. Belum termasuk mortalitas dalam proses ekspor.
“Kalau melihat tren berdasarkan data FAO 2016 bahwa kisaran tahun 2005-2015 produksi tahunan lobster dunia dari perikanan tangkap rata-rata Rp2,73.051 triliun, bukan disumbang oleh Indonesia, tetapi mayoritas Vietnam karena cargo mereka jarak pendek dan panjang tetap di tempuh dalam waktu 12-15 jam perjalanan dengan transportasi truk-truk,” pungkasnya.