HeadlineHukumPolitik

Waspadai Kembalinya Orde Baru

DEMOKRASI berjalan mundur dinegeri ini. dengan kekuasaan politik yang nyaris absolut, koalisi pemerintah kini merencanakan perubahan yang berpotensi membawa sistem ketatanegaraan kita kembali seperti masa orde baru.

Yang terbaru adalah niat menteri dalam negeri Tito Karnavian menhentikan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. gagasan yang disampaikan dalam rapat kerja dengan komisi pemerintahan DPR pada pekan lalu ini mesti ditentang.

Pilkada langsung memiliki dasar kuat, yaitu Undang -undang nomor 32 tahun 2014 tentang pemerintah daerah. pasal 24 ayat (5) undang-undang 32 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. pasal 24 ayat (5) undang-undang itu menyatakan : “kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat didaerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat didaerah yang bersangkutan,” peraturan ini mengembalikan kedaulatan kepada rakyat. rujukannya adalah undang-undang dasar 1945.

pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menggariskan bahwa gubernur bupati ataupun walikota dipilih secara demokratis. cita-cita menjaga kedaulatan rakyat dalam demokrasi tersebut juga dinyatakan dalam pasal 6A ayat (1) UU 1945, yang mengatur pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.

pemerintah ingin mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD. alasannya pilkada langsung menguras biaya dan merugikan masyarakatmasyarakat lantaran pejabat sibuk berkampanye. itu jelas mengada-ada. lagi pula bukanlah ada baiknya pejabat bertemu dan melihat persoalan rakyatnya secara langsung dalam kampanye?

Rencana menghapus pilkada langsung sudah muncul masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. tapi SBY tegas menolaknya. pada akhir masa kepemimpinannya, SBY bahkan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang untuk membatalkan dua undang-undnag tentang wewenang pemilihan kepala daerah oleh DPRD. pemerintah Presiden Joko Widodo malah hendak melakukan hal sebaliknya.

Rencana menghapus pilkada langsung menjadi seperti sebelum 2005, harus kita curigai sebagai upaya elit politik untuk menggenggam kekuasaan politik sepenuhnya. kalau rencana itu terlaksana negara akhirnya hanya diatur oleh tawar-menawar politik para oligark di pertahanan dan dewan, persis seperti masa orde baru. Apalagi partai-partai yang tergabung dalam koalisi pemerintah telah bersepakat untuk mengamendemen UU 1945 guna menghidupkan lagi garis-garis besar haluan negara. secara politik, itu berarti menempatkan presiden kembali menjadi mandaris MPR.

Peta Politik saat ini amat memungkinkan gagasan tersebut lolos. dengan masuknya partai oposisi dalam lingkaran pemerintah kecuali PKS yang hanya punya 8,21 persen kursi DPR fungsi cek and balances jomplang. koalisi pendukung Jokowi bisa melakukan apa saja. bukan tidak mungkin mereka juga akan meloloskan berbagai aturan yang membatasi kebebasa berekpresi masyarakat, seperti kitab undang-undang hukum pidana.

dalam demokrasi prosedural, rakyat mesti menunggu pemilihan mendatang untuk mendorong untuk perubahan politik kearah yang lain. tapi melihat perkembangan saat ini lima tahun akan sangat lama. suara lantang masyarakat dalam membela demokrasi dibutuhkan segera mulai sekarang.

Sumber : editorial Koran Tempo Senin,11 november 2019 

Tags

Tulisan terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bimata
Close